Cerita Sukses AFC (3): Kawal Penerapan Kota Inklusi di Kantor OPD Yogyakarta

Kantor Dinas Sosial Kota Yogyakarta yang Berada di Kompleks Balai Kota Yogyakarta. Dok: gudeg.net
Kantor Dinas Sosial Kota Yogyakarta yang Berada di Kompleks Balai Kota Yogyakarta. Dok: gudeg.net

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota diantara kota/kabupaten lain di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai kota inklusi. Pendeklarasian ini bertepatan dengan terbitnya Keputusan Walikota Yogyakarta No. 339 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Percontohan Kecamatan Kota Inklusi di kota Yogyakarta Tahun 2016 tertanggal 29 April 2016 yang menunjuk Kec. Kotagede, Gondokusuman, Wirobrajan dan Kec. Tegalrejo sebagai percontohan kecamatan untuk kota inklusi. Dalam keputusan walikota tersebut diatas mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang timbul atas penerbitan keputusan tersebut dibebankan dalam APBD Kota Yogyakarta.

Diantara indikator percontohan kecamatan untuk kota inklusi ini adalah pembentukan organisasi disabilitas dan keluarganya yang berbasis wilayah kecamatan yang diberi nama Paguyuban Keluarga Anak dengan Disabilitas (PKADD).  Organisasi ini memiliki kegiatan pertemuan rutin dan aktivitas temporer, yakni penerima program-program dari kementrian dan dinas sosial provinsi maupun kota. Program-program yang bersumber dari APBD provinsi dan APBN ini merupakan program yang bersifat personal dan insidental. APBD Kota Yogyakarta belum secara spesifik memiliki program di wilayah percontohan kecamatan kota inklus ini.

Selama satu tahun dideklarasikan, di kecamatan percontohan kota inklusi ini belum memiliki program-program spesifik oleh OPD teknis maupun kecamatan, alasan yang datang dari DPRD Kota Yogyakarta melalui Komisi D adalah karena belum dimilikinya payung hukum terhadap keberpihakan pada disabilitas, sehingga program-program yang muncul adalah program-program reguler.

Pun juga mengenai tujuan, target dan upaya program yang dilakukan dalam pencapaian target pertahun di wilayah juga tidak terencana dengan baik oleh stakeholder pemerintahannya, sehingga program-program reguler APBD, baik yang dikelola OPD Teknis maupun OPD Kecamatan yang ada juga tidak bisa dimaknai berkontribusi terhadap upaya mencapai target tertentu, karena memang tidak ada rumusan tentang konsep sebagai kecamatan percontohan kota inklusi ini. Sementaa kondisi pelayanan sehari-hari, fasilitas/sarana prasarana dan program kerjanya, tidak jauh berbeda dengan wilayah kecamatan lain non-percontohan.

Belum lagi terukur capaian inklusifitas di wilayah kecamatan percontohan inklusi di 4 kecamatan sebelumnya, melalui surat Keputusan Walikota Yogyakarta No. 207 Tahun 2017 tentang Penetapan Lokasi Kecamatan Percontohan Kota Inklusi di Kota Yogyakarta Tahun 2017 pada tanggal 3 Maret 2017, Pemerintah Kota Yogyakarta kembali menunjuk kecamatan percontohan kota inklusi di Kec. Kraton dan Kec. Jetis. Lagi-lagi beban biaya yang ditimbulkan atas keputusan walikota ini, akan dibebankan kepada APBD Kota Yogyakarta.

Indikator kecamatan percontohan di tahun 2017 tersebut agak berbeda dengan kecamatan percontohan inklusi sebelumnya. Pada wilayah Kec. Kraton dan Kec. Jetis difasilitasi pembentukan organisasi semacam forum, yakni organisasi ini memiliki fungsi koordinasi bagi organisasi-organisasi sosial masyarakat yang ada di wilayah kecamatan yang beririsan dengan 5 afirmatif gender, yakni anak-anak, perempuan, masyarakat miskin, lansia dan disabilitas. Akhirnya, organisasi sosial yang ada di wilayah kecamatan yang berpihak dengan 5 penekanan inklusi tersebut, akan diwadahi dalam Forum Kecamatan Inklusi (FKI).

Sampai kini organisasi yang menaungi 5 afirmatif gender di atas belum genap berusia 1 tahun dan sampai saat ini masih berkutat mengenai pemahaman tentang inklusifitas terhadap pengurusnya. Disisi lain, organisasi ini juga sedang dalam proses mendesain tugas pokok fungsi masing-masing bagian dalam organisasi.

Sejak lahir, FKI ini juga mendapat mandat khusus terkait dengan upaya mewujudkan mandat percontohan kota inklusi oleh pemerintah kota, sehingga terkesan bahwa percontohan inklusi adalah dibentuknya organisasi yang menaungi disabilitas. Dan hal tersebut yang secara mudah untuk membedakan dengan kecamtan non-percontohan inklusi.

Kondisi ini menjadikan stakeholder Kota Yogyakarta yang terdiri dari CSO, pemerintah kelurahan, WKCP dan OPD Teknis menggagas tentang implementasi deklarasi inklusifitas di Kota Yogyakarta. Sesuatu yang relatif cukup mudah dilakukan untuk mengukur espektasi inklusifitas dari tahun ke tahun, diantaranya ialah terkait infrastruktur di lingkungan pemerintahan kota. Artinya, infrastruktur di lingkungan kantor pemerintah kota sebagai penggagas dan pengawal deklarasi kota inklusi ini bisa menjadi tolok ukur bagi kantor instansi pemerintah di bawahnya.

Setelah menyusun instrumen penilaian bersama stakeholder seperti pemerintah kelurahan dan beberapa OPD teknis,  perwakilan ketiga CSO kelompok rentan di Kota Yogyakarta ini memprakarsai untuk melakukan tracking implementasi inklusifitas di 3 OPD Teknis, yakni di Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan DPU PKP. Ketiganya berlokasi di dalam komplek pemerintahan kota.

Beberapa catatan mendasar yang didapat dari hasil tracking yang diprakarsai warga rentan ini justru menunjukkan kondisi yang kontra-inklusi. Kondisi tersebut misalnya seperti

  1. Infrastruktur yang ada di kantor instansi pemerintah lokasi tracking tidak aksesibel, baik akses jalan, kamar mandi/wc, pintu, ruang pelayanan masyarakat dan beberapa sarana rasarana lainnya

  2. Informasi yang disediakan kepada masyarakat juga tidak ramah terhadap penyandang netra dan tuli

  3. Petugas pelayanan masing kurang memiliki penguasaan bahasa insyarat

Hal tersebut menunjukkan bahwa deklarasi kota inklusi, tanpa diikuti dengan penyusunan peraturan daerah, kebijakan teknis, serta konsep penyelenggaraan yang terukur dan berkelanjutan, tidak akan bermakna terhadap perlindungan, pemenuhan hak dan permberdayaan kelompok rentan serta upaya inklusifitas itu sendiri.

Kontributor   : EBM

Editor             : AH