Keuangan DPRD: Aturan Baru, Nafas lama

https://www.pengadaan.web.id/

Seperti kita tahu, anggaran daerah juga berurusan dengan pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah, belanja-belanja, prioritas-prioritas dan alat-alat ukurnya. Dengan hanya memfokuskan perhatian pada anggaran DPRD, aturan tentang keuangan daerah mengabaikan banyak dimensi penting dalam penganggaran di Kabupaten/Kota. Salah satunya adalah besaran alokasi belanja untuk memenuhi hak dan kebutuhan-kebutuhan dasar warga negara; kesehatan, pendidikan, jaminan sosial, akses terhadap air bersih dan sebagainya.

Konstitusi kita memang sudah menetapkan agar 20 persen dari total belanja APBN, yang semestinya berlaku juga untuk anggaran daerah, dialokasikan untuk sektor pendidikan. Untuk kenyataan bahwa amanat konstitusi itu belum terlaksana, kita bisa menemukan banyak sekali penjelasan. Namun, setidaknya hal itu bisa dianggap batu pijakan menuju kebijakan anggaran yang lebih baik.

Bagaimana dengan alokasi untuk hak dan kebutuhan dasar yang lain? Sejauh ini belum ada aturan yang jelas tentang itu sehingga belanja untuk pemenuhan hak-hak dasar itu sangat terbatas. Ironinya, belanja untuk aparat pemerintah ternyata jauh lebih besar daripada belanja untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga negara.

Dalam konteks yang saya sebutkan di awal tulisan ini, membuat aturan tentang keuangan DPRD tidak salah, terlebih jika kita perhitungkan kecenderungan penyalahgunaan anggaran oleh anggota DPRD. Berbagai kasus memperlihatkan penyelewengan semacam itu berpangkal dari ketidakpatuhan terhadap PP 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Uniknya, setelah PP 110 dicabut oleh Mahkamah Agung pada tahun 2002, aturan penggantinya tidak segera diundangkan sehingga acuan untuk masalah keuangan DPRD mengacu pada Surat Edaran Mendagri tentang pesangon anggota DPRD atau tetap merujuk pada PP 110 itu. Pengganti PP 110 Dua tahun setelah PP 110 dicabut, diundangkan PP 24 pada tanggal 28 Agustus 2004.

Artinya, tiga bulan setelah diundangkan, PP 24 harus diberlakukan di DPRD di seluruh provinsi, kabupaten/kota. Sama halnya dengan PP 110, dasar pembuatan PP 24 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah UU No 22 tahun 1999. Namun, perlu dicatat bahwa pada saat PP 24 diundangkan, UU 22/1999 telah diganti oleh UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Akibatnya, beberapa hal mendasar dalam PP 24 tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan pertimbangan itu, catatan ini dibuat untuk menelaah bagian-bagian penting dalam PP 24 yang perlu diubah atau diamandamen. Sekilas PP 24 terlihat lebih jelas dari pada PP 110. Banyak hal yang diatur dalam PP 24 itu. Namun apabila kita lihat lebih jauh, PP 24 sepertinya mengabsahkan pola-pola korupsi yang terjadi 2-3 tahun terakhir. Salah satu contoh yang bisa kita bisa lihat adalah dengan tidak diaturnya dana purna tugas dalam PP 110. Tapi hal ini diatur dengan jelas dalam PP 24 tahun 2004. Bagaimanapun juga kelahiran PP 24 tahun 2004 sangat ditunggu-tunggu oleh anggota DPRD. Bagaimana tidak? Anggota DPRD yang baru tentu saja tidak mau berurusan dengan persoalan hukum karena dianggap tidak melaksanakan aturan yang ada. Masyarakat pun ingin melihat seberapa jauh keseriusan pembuat perundang-undangn dalam mengatur keuangan Negara (APBD).

Dengan PP itu masyarakat dapat menilai apakah ada keinginan Pemerintah untuk membangun komitmen dalam mengalokasikan anggaran yang cukup besar bagi masyarakat. Dengan cerminan anggaran yang diberikan pada anggota dewan sesuai dengan PP itu, kita dapat melakukan hitungan apakah alokasi untuk dewan itu layak atau tidak. Ada apa dengan PP 24 ? Munculnya peraturan baru ini ternyata tidak sesempurna yang kita harapkan. Masih terjadi beberapa kejanggalan dan ‘lobang’ disana sini. Secara umum kejanggalan aturan ini dapat dibedakan menjadi dua yitu persoalan substansial dan

prosedural.

Beberapa kejanggalan substansial yang ditemui dalam PP tersebut antara lain, pertama, Indikator uang representasi yang digunakan untuk menentukan gaji anggota Dewan adalah pejabat eksekutif yang setingkat kedudukannya (Bupati/Walikota/Gubernur). Padahal selama ini gaji pokok pejabat eksekutif sangat beragam / tidak ada patokan umum. Misalnya dalam APBD 2004 beberap Kabupaten dan Kota di Yogya Gaji pokok Bupati Kulon Progo Rp 28.665.000/tahun, Gaji pokok Walikota Yogya Rp 46.800.000/tahun, bahkan Gaji pokok Bupati Bantul tidak tercantum dalam APBD. Penggunaan indikator tidak berdasarkan besaran belanja publik dalam APBD akan berbahaya karena sesungguhnya nafas APBD adalah sebesar-besarnya untuk ekmakmuran rakyat, bukan kesejahteraan pejabat.

Kedua, Terkait dengan penghasilan anggota Dewan, PP 24 tahun 2004 itu lebih detail mengatur penghasilan dewan disesuaikan dengan beban pekerjaannya dari pada PP 110 tahun 2000. Sayangnya, PP itu tidak dapat memilah mana dewan yang aktif melaksanakan kinerjanya mana yang tidak. Misalnya, supaya lebih obyektif, kinerja (juga) diukur dari masukan atau catatan tertulis sebagai position paper setiap anggota dewan dalam bersikap terhadap persoalan masyarakat yang dibahas. Position paper ini juga dapat digunakan sebagai alat bagi konstituen untuk mengukur kinerja anggota dewan pilihannya. Jadi anggota Dewan yang hanya datang, duduk dan diam’ akan kelihatan dan mempunyai penilaian yang

buruk. Penilaian inilah yang akan berimbas pada remunerasi yang diberikan. Ketiga, Tunjangan kesejahteraan adalah komponen yang cukup besar yang akan diterima oleh anggota Dewan. Tunjangan kesejahteraan meliputi tunjangan rumah, tunjangan kesehatan, kendaraan dinas, pakaian dinas, uang duka, dll. Tanpa ada batasan yang bisa digunakan untuk tunjangan ini maka besar kemungkinan dana APBD akan tersedot dalam pos ini. Keempat, Uang paket anggota Dewan dalam PP 24 yaitu uang yang diterimakan sesuai dengan kehadiran anggota Dewan pada saat mengikuti rapat ‘hanya’ 10 %. Prosentase ini lebih kecil dari pada prosentase yang tertera dalam PP 110 yaitu maksimal 25 %.

Akibatnya, besar kemungkinan besar anggota Dewan mangkir dari rapat. Kelima, Tidak adanya pengaturan tentang cash flow untuk APBD dalam PP 24 akan sangat riskan dalam pengelolaan keuangan dewan. Pengalaman kasus di DPRD Propinsi DIY tahun 2004, dimana dana perjalanan dinas dan penunjang operasional sebagian besar terpakai oleh anggota Dewan lama, mengakibatkan anggota dewan baru tidak dapat menggunakan dana tersebut karena telah habis atau tersisa sedikit. Persoalan substansial dalam PP 24 masih dilengkapi oleh persolan prosedural.

Dalam pasal 29 ayat (2) PP 24 tahun 2004, memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur untuk membatalkan Peraturan Daerah tentang kedudukan keuangan Dewan. Hal ini jelas bertentangan dengan Tap MPR Nomor III tahun 2000 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Berdasarkan alasan-alasan itulah PP ini perlu ditinjau ulang. Apalagi PP ini akan segera digunakan oleh DPRD propinsi, kabupaten dan Kota diseluruh Indonesia untuk membuat Komposisi keuangan Dewan masing-masing.