Kontroversi Izin Penambangan Pasir Besi

Kontroversi Izin Penambangan Pasir Besi; Bukti Absennya Transparansi Pusat-Daerah

YOGYA (KR) – Desentralisasi di Indonesia hingga hari ini masih jauh dari debat ‘strategis’ tentang pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah dan membangun sistem kesejahteraan. Sayang sekali, kampanye transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif belum bergema di DIY.

“Kontroversi pemberian izin penambangan pasir besi di Kulonprogo adalah bukti terbaru absennya pemikiran transparansi dan akuntabilitas di kalangan pemerintah pusat dan daerah,” tandas Koordinator Publish What You Pay, Ridaya La Ode Ngkowe dalam bedah buku ‘Escaping The Resource Curse’ (Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam) di LPP Convention Hall Jl Solo, Kamis (11/12). Diskusi dan bedah buku diselenggarakan IDEA bekerja sama MAP UGM, The Samdhana Institute dan Revenue Wathc Institute (RWI) merupakan kelanjutan focus group discussion yang diselenggarakan sebelumnya. Selain Ridaya, narasumber lain adalah Direktur Eksekutif Walhi DIY Suparlan, dari NTT Heronimus Marut dan dari IDEA.

Dikatakan, kalau benar penambangan akan menguntungkan daerah, rasanya publik tidak pernah tahu dan diberi tahu bahwa perusahaan yang mendapatkan kontrak adalah perusahaan terbaik yang bisa melakukan eksploitasi. Jika tidak ada tender, katanya, bagaimana bisa yakin bahwa perusahaan yang mendapat kontrak adalah perusahaan terbaik.

Sementara Suparlan mengungkap bahwa otonomi daerah justru memberikan ruang bebas untuk mempermudah perizinan secara langsung dari daerah, dalam perkembangan industri ekstraktif. Meski dalam langkah awal, Pemda hanya untuk mendapatkan persetujuan semata karena pelakunya tetap di level pusat. Bahkan Pemda juga tak dapat melakukan perlindungan terhadap hak rakyat.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DIY ini juga mengambil contoh kasus rencana pertambangan pasir besi di Kulonprogo. Dimana komunitas yang dimungkinkan akan terkena dampak langsung secara tegas dan jelas, menolak.

“Namun faktanya, dengan tangan dingin Pemda tetap melakukan kontrak karya tanpa melihat pertimbangan masyarakat yang akan terkena dampak langsung,” jelas Suparlan.

Bisa dikatakan, otonomi daerah dalam pelaksanaan industri ekstraktif justru memperparah pola komunikasi Pemda dengan masyarakat. “Di samping itu, otonomi daerah juga akan mempersulit kontrol terhadap jumlah investasi dan industri ekstraktif yang akan masuk ke daerah yang ada di Indonesia,” tambahnya.

Dicontohkan, seperti di Kaltim tercata sekitar 500 industri yang beriperasi sedang di Sulawesi Tenggara diperkirakan mencapai sekitar 100 lebih. “Hal ini membuktikan otonomi daerah berimplikasi pada tidak terkendalinya investasi yang masuk ke level propinsi atau kabupaten. Sehingga bisa disimpulkan, otonomi justru memperparah laju eksploitasi sumberdaya alam untuk kepentingan industri,” tambahnya.

Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat 12 Desember 2008