Korupsi, Demokratisasi Desa dan Kebijakan Agraria dalam Keistimewaan DIY

Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Yogyakarta di lantai dua gedung UNU, Rabu (05/09)
Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Yogyakarta di lantai dua gedung UNU, Rabu (05/09)

Zainurrahman, salah satu pegiat Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) UGM mengatakan bahwa perilaku Korupsi memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan masyarakat. Ia memaparkan bahwa sejak menusia berkembang menjadi masyarakat yang berkelompok, zaman kerajaan, hingga yang paling mutakhir dengan birokrasi modern, watak untuk korup juga ikut terbentuk dengan coraknya masing-masing.

Ia menuturkan, di zaman kesukuan, perliku korup sebenarnya sudah terjadi. Bentuknya seperti pemberian hadiah (gratifikasi) untuk mendapatkan pengaruh tertentu di kelompoknya. Kemudian berkembang pada zaman kerajaan yang berbentuk pemberian upeti di tiap ada konsesi  antar elit kerjaan.

Sementara yang lebih tersistem ialah ada di zaman republik saat ini. Menurut Zainurrahman, korupsi di zaman republk ini merupakan perkembangan dari bentuk korupsi sebelumnya. Korupsi yang banyak dilakukan ialah suap menyuap. Zainurrahman mengatakan bahwa perilaku korup ini adalah proses yang berkelanjutan dari zaman-zaman lalu. Artinya, menurutnya, watak birokrasi Indonesia saat ini tidak mengalami perubahan, bahkan justru semakin parah dalam melakukan korupsi.

Pemaparan Zainurrahman terkait Pembaruan Watak dan Model Birokrasi dari Patrimonial ke modern tersebut disampaikan dalam Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Yogyakarta di lantai dua gedung UNU, Rabu (05/09). Dialog bertajuk “Meneladani Visi Ke-Indonesiaan Sepasang Republikan: Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII” ini diselengarakan dalam rangka meresmikan Pusat Studi Keistimewaan DIY yang dibentuk di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNU Yogyakarta. Lebih jauh, dialog ini sekaligus untuk merefleksikan jalan panjang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Demokratisasi Desa dan Kebijakan Agraria di DIY

Benjamin White, peneliti desa dan agraria di DIY, dalam kesempatan dialog ini menyampaikan perjalanan demokratisasi desa dan kebijakan agraria di DIY sejak zaman kolonial hingga pasca reformasi saat ini.

Ben White mengatakan bahwa 100 tahun lalu, DIY sempat menjadi daerah paling feodal di Indonesia. Namun dalam waktu yang cepat sekaligus menjadi wilayah yang paling demokratis. Hal itu ditandai dengan kebijakan agraria yang diberikan oleh sultan HB IX. Menurut Ben White, tak lama setelah penerapan Undang-undang pokok Agraria tahun 1960 oleh presiden Soekarno, DIY yang dipimpin oleh HB IX meresponnya dengan membuat Perda DIY No 3 Tahun 1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU No 5 Tahun 1960 (UUPA).

Meski demikian, Ben White menjelaskan bahwa demokratisasi desa dan kebijakan agrarian di DIY cenderung mengalami pasang surut, bahkan hingga situasi terakhir seperti saat ini, justru seperti mengalami kemunduran ke fase awal di zaman feodal. Ia menuturkan dengan mengupas beberapa fase yang mempengaruhi situasi di DIY saat ini.

Mulanya, kata Ben, ialah pada abad 19, di awal abad tersebut DIY mengalami transisi dari feodal ke patrimonial. Sebagai contoh, sebelum 1918 Demang/bekel (lurah) diangkat secara semihereditary, sementara kepemilikan tanah berstatus hak pakai. Namun setelah 1918, Hak pakai menjadi turun-temurun, kepala desa pun diangkat pelatih dalam setelah hasil pemilihan rakyat.

Belanjut ke tahun 1945-1950, di tahun ini disebut juga sebagai titik balik demokratisasi di DIY. Pemerintah DIY mulanya menerapkan gabungan beberapa desa menjadi satu. Kemudian lurah dipilih oleh semua rakyat dewasa secara langsung. Rembug desa yang awalnya memiliki wewenang terbatas diubah menjadi dewan perwakilan rakyat kelurahan. Partai Politik dan ragam organisasi pun aktif hingga ke desa-desa. Sementara kebijakan agrarian juga mengalami revolusi yang cukup besar dengan mengubah hak pakai menjadi hak milik. Di fase ini pula, tepatnya pada November 1945, menurut Ben, kongres petani pertama dilakukan di DIY yang diikuti dengan pendirian Barisan Tani Indonesia dengan klaim 1,5 juta anggota se DIY.

Proses demokratisasi desa dan kebijakan agraria mulai mengalami gejolak pada tahun 1970-2018. Di fase ini pula, Ben menyebut sebagai fase kemunduran demokrasi dan agrarian di DIY. Hal itu ditandai diantaranya dengan mulai dibubarkannya banyak partai politik yang dianggap bersebarangan dengan rezim Soeharto atau diberi opsi eksis dengan difusi. Parpol juga tidak boleh beraktivitas dibawah tingkat kabupaten hingga desa.

Tak hanya itu, organisasi atau gerakan massa (dari partai manapun) turut dibubarkan oleh rezim soeharto, atau bergabung dalam organisasi tunggal yang berada di bawah pengawasan penuh pemerintah seperti HKTI, KOWANI, KNPI, SBSI, Karang Taruna, serta Pramuka. Kebijakan agrarian di DIY juga turut mengalami kemunduran luar biasa, UUPA dan UUPBH yang sebelumnya sempat dianggap menjadi solusi masalah Agraria memang tidak dihapus, namun dilanggar dimana-mana.

Di DIY, kemunduran ini ditandai dengan diterapkannya kembali tanah-tanah swapraja seperti Sultan Ground dan Pakualaman Ground yang sudah dihapus di zaman Sultan HB IX, serta larangan warga (non pribumi) termasuk keturunan Tionghoa untuk memiliki hak milik tanah di DIY. Situasi ini disebut Ben, sebagai titik kemuduran DIY ke tahun 1918.

Keistimewaan DIY

Ada beberapa point penting yang disampaikan oleh narasumber terkait keistimewaan DIY. Purwo Santoso misalnya, Rektor UNU Yogyakarta ini menegaskan bahwa Keistimewaan Yogyakarta seharusnya bukan hanya sekedar label, namun beranjak ke laku atau tindakan yang istimewa. Artinya, menurut Purwo, label keistimewaan harus mampu memperbaiki kualitas warga Jogja, khususnya dalam hal kebudayaan, ekonomi dan politik.

Sementara itu, KRT Jatiningrat narasumber yang sekaligus abdi dalem kraton Yogyakarta menyampaikan amanat penting yang diwariskan oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Menurutnya, salah satu amanat penting tersebut ialah terkait kepemimpinan HB IX yang memegang prinsip ‘Tahta untuk Rakyat’. Sebagai contoh, menurut KRT Jatiningrat, ialah tentang kedudukan Gubernur. Sebelum ada Undang-undang No. 13 tahun 2012, Sultan HB IX berpendapat bawah masalah kedudukan Gubernur seharusnya tidak hanya dirembug dengan pemerintah pusat, namun juga memperhatikan masyarakat setempat.

Lebih lanjut, KRT Jatiningrat juga menyampaikan cita-cita keistimewaan DIY menurut Sultan HB IX. Dirinya mengatakan bahwa, menurut Sultan HB IX, cita-cita keistimewaan DIY ialah untuk tetap menjaga eksistensi Keraton dan Pura Pakualaman sebagai pusat budaya Ngayogyakarta Hadiningrat.

Di kesempatan yang sama, Rendra, sejarawan muda yang banyak menekuni sejarah kesultanan mataram, khususnya yang berkaitan dengan Pakualaman VIII, menyampaikan peran penting yang dilakukan Pakualaman XIII. Menurut Rendra, PA XIII punya andil yang besar dalam menyatukan empat kerajaan islam seperti Kasultanan Yogyakarta, Pakualaman, Kasunanan serta Mangkunegaran. Uniknya, upaya itu dilakukan PA VIII, menurut Rendra, ialah dengan instrumen  kebudayaan. Rendra mengatakan bahwa saat itu PA VIII memang cukup menggandrungi berbagai kesenian seperti seni musik, tari, hingga naskah/penulisan. Amanat penting yang hingga saat ini diwariskan PA VIII ialah  sikapnya yang mengedepankan kepentingan rakyat, NKRI, serta, keberlangsungan Puro Pakualaman.

Kontributor/Editor: AH