Perempuan sebagaimana laki-laki, merupakan bagian utuh dari entitas sebuah bangsa. Seluruh hak-haknya, termasuk hak politiknya dijamin oleh konstitusi. Tidak ada satu pasal pun yang melarang perempuan untuk terlibat dalam konstestasi politik. Bahkan, Indonesia sudah mengatur secara khusus tentang afirmasi perempuan dalam politik. Artinya, di atas kertas, kebijakan tentang partisipasi perempuan dalam politik sudah cukup memadai.
Namun, dukungan kebijakan tersebut tak cukup berpengaruh terhadap tingginya partisipasi dan keterpilihan pemimpin perempuan di eksekutif dan legislatif. Di Provinsi DIY misalnya, Jumlah anggota legislatif perempuan pasca pemilu legislatif tahun 2019 di Provinsi DIY hanya 9 dari total 55 orang, atau hanya sekitar 16%, jauh dari kuota afirmatif 30% perempuan.
Data profil gender dan anak DIY Tahun 2019 di bidang politik dan pengambilan keputusan menunjukkan masih rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang tersebut. Jumlah perempuan yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif masih kalah jauh dibandingkan dengan laki-laki yang memegang posisi penting penting dalam bidang politik dan pengambilan keputusan. Penurunan IDG dikontribusi oleh penurunan jumlah Perempuan di eksekutif dimana pada tahun 2018 terjadi penurunan jumlah camat perempuan dari 10 orang menjadi 8 orang. Begitupun jumlah kepala desa/lurah data tahun 2018 memperlihatkan penurunan dari 45 perempuan kepala desa menjadi 42.
Data penurunan kepala desa perempuan ini terjadi di Kulonprogo, yang juga terlihat bahwa jumlah kepala desa desa turun Jika dibanding laki-laki, persentase camat dan kepala desa perempuan berkisar di angka 10%, jauh dari afirmasi quota perempuan yang ditetapkan yaitu 30%. Jumlah Bupati/walikota di DIY hanya 1 orang dari total 5 orang bupati/walikota. Dalam Pilkada serentak yang digelar pada bulan Desember 2020, hanya ada 3 perempuan yang mencalonkan diri sebagai bupati dan wakil bupati dari 18 calon yang akan maju dalam kompetisi pemilihan kepala daerah. Jumlah anggota BPD perempuan juga masih minim, di Kabupaten Sleman misalnya dari total 904 orang anggota BPD, hanya 22 orang yang perempuan atau sekitar 2%.
Fakta lainnya, pelibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan, seringkali hanya dijadikan pelengkap kouta pelibatan. Namun, kualitas partisipasi belum dibangun dengan memadai, Akhirnya, perempuan hanya sekedar dihadirkan dalam ruang-ruang pertemuan, namun tidak mengerti apa yang harus diperjuangkan.
Persoalan yang sering terjadi seringkali memang ada di internal partai politik sebagai pengusung dan dukungan konstituen yang tak cukup yakin dengan pemimpin perempuan. Faktor lainnya ialah terkait politik uang yang membuat konstestasi politik menjadi tidak berkualitas, banyak calon perempuan yang harus memupus harapannya terpilih sebagai pengambil kebijakan karena praktik kotor ini.
Di internal partai, persoalan klasik seperti rendahnya demokratisasi partai dan kecilnya kesempatan perempuan untuk menjadi bagian dari pengambil kebijakan partai masih terus terjadi. Pengurus-pengurus partai, baik nasional maupun daerah, masih didominasi oleh laki-laki. Dampaknya, akses perempuan terhadap nomor-nomor urut strategis saat pemilihan umum menjadi terbatas. Menurut data yang dirilis the conservation dalam artikel Women and social media during legislative elections in Indonesia, persentase perempuan yang menduduki nomor urut pertama saat pileg tahun 2019 rata-rata berada di bawah 25 %. Padahal nomor urut menjadi salah satu penentu keterpilihan calon pemimpin, khususnya saat pemilihan umum legislatif. Kebijakan terkait peletakan nomor urut ada di pihak partai, artinya, jika persentase nomor urut pertama pada calon perempuan masih rendah, komitmen partai untuk mengusung calon pemimpin politik perempuan juga masih rendah.
Kemudian persoalan lainnya ialah terkait masih rendahnya dukungan terhadap kepemimpinan politik perempuan. Meski saat pencalona di tahun 2019 lalu, partai sudah mengusung calon perempuan rata-rata pada angka 41,2 % namun keterpilihan perempuan masih rendah. Menurut data dari sumber yang sama, angka keterpilihan perempuan hanya pada angka 3.69%. Sehingga kouta 30% kursi parlemen tidak dapat terpenuhi.
Terus Memupuk Asa
Fakta-fakta di atas memang bukan kabar yang menggembirakan. Namun, bukan berarti mengandaskan misi untuk mewujudkan kepemimpinan perempuan. Kita tahu, masih banyak kasus-kasus yang terkait dengan persoalan perempuan dan kelompok rentan yang perlu diselesaikan. Dan, yang paling memahami untuk menyelesaikan kasus perempuan tentu ialah perempuan itu sendiri. Karenanya kepemimpinan politik perempuan menjadi sangat penting untuk terus didorong.
Beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain ialah, pertama, mendorong agar demokratisasi di internal partai dapat berjalan. Wujudnya ialah dengan secara periodic melakukan resrtukturasi kepengurusan, hal tersebut dilakukan agar tubuh partai tetap sehat. Kepengurusan yang tidak direstrukturasi secara rutin seringkali menimbulkan patron dan bahkan dekat dengan dinasti. Patron dan dinasti berimbas terhadap minimnya akses kader-kader berkualitas, khususnya perempuan untuk terlibat dalam penggerak utama partai. Praktisnya, perlu keterwakilan perempuan tidak hanya saat pencalonan saat pemilu, namun harus dimulai sejak di internal partai. Keterwakilan perempuan yang partisipatif di kepengurusan partai ini memungkinkan para perempuan-perempuan lainnya untuk didorong menempati pos-pos strategis, baik di internal partai maupun saat pencalonan.
Kemudian, yang kedua, kader-kader politik perempuan juga harus terus membangun personal brandingnya, di luar atau di dalam parlemen, terpilih atau tidak terpilih dalam pemilu. Personal branding yang dibangun akan makin sempurna jika isu yang dimainkan memang terkait dengan keahlian atau kapasitasnya, Sehingga konstituen akan melihat personalitas kader parpol perempuan berdasarkan pada kualitas atau kapasitas yang dimiliki. Hal ini penting dilakukan agar kader-kader partai politik memiliki daya tawar yang bisa dikonversi menjadi suara-dukungan politik, atau minimal untuk mengenalkan misi yang akan diperjuakan ke publik.
Terakhir, bahwa kepemimpinan politik merupakan hak semua warga, tanpa batas kelamin. Saatnya perempuan-perempuan tangguh di desa, kader-kader parpol perempuan, jika memang sudah merasa memiliki kapasitas untuk memimpin, maka tempatilah pos-pos strategis di masing-masing ruang yang dimiliki. Bentuk partisipasi juga bisa kita wujudkan dengan turut memberikan dukungan kepada perempuan yang memilih jalan kepemimpinan politik.
Leave a Reply