Menumbuhkan Kesadaran Publik Yogyakarta dan Surabaya Terhadap Kutukan Sumber Daya Alam

Kutukan sumber daya alam adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena di atas, di mana Indonesia gagal mengambil manfaat dari berkah kekayaan alam. Fenomena ini menjadi jelas karena kita bisa dengan mudah menunjuk negara-negara pada sisi sebaliknya yang miskin sumber daya alam namun tingkat kesejahteraan penduduknya baik dan perekonomiannya stabil berkelanjutan.

Kutukan ini menyebabkan hingga sekarang kita masih menemukan kenyataan bahwa indeks pembangunan manusia Indonesia hanya 0,728 sehingga menduduki rangking 107 dari 175 negara di dunia. Di mana kontributor utama dari rendahnya indeks pembangunan manusia ini adalah 122 juta orang atau 52,4% penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan di bawah US $ 2 per hari. Fakta lain menunjukkan bahwa malaria masih menjadi penyakit 20% penduduk Indonesia dan kira-kira mendekati 28% anak di bawah usia 5 tahun menderita kurang gizi. Lebih buruk lagi, di negara yang memberikan kemudahan bagi privatisasi sumber daya air, terdapat 40 juta orang yang tidak dapat mengakses air bersih dan 100 juta orang tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang memadai.

Masalah kutukan sumber daya alam adalah masalah di tingkat pemerintahan negara dan di tingkat pemerintahan daerah. Di Indonesia, masalah-masalah di tingkat pemerintahan negara itu nampak terutama pada terlambatnya demokratisasi selama 32 tahun karena sumber daya alam mampu menjamin keberlanjutan rezim tanpa harus terlalu tergantung pajak atau dukungan politik rakyatnya. Pada sisi ekonomi, kutukan menyebabkan apresiasi rupiah terhadap mata uang di ASEAN menjadi salah satu penyebab turunnya daya saing industri pertanian dan industri kecil terhadap pasar global. Pada aspek fiskal, fluktuasi harga komoditas yang tinggi berefek pada kacaunya kebijakan fiskal Indonesia. Oleh sebab manajemen fiskal yang buruk, pada saat harga minyak melambung, terjadilah belanja yang tidak terencana dengan baik. Sebaliknya pada saat harga minyak jatuh, daya dukung fiskal yang tidak memadai menyebabkan pemerintah beralih pada sumber-sumber utang luar negeri untuk menutup defisit. Gabungan antara ketidaksabaran pemerintah dan faktor ‘peragenan’ telah melemahkan posisi tawar negara terhadap kontraktor sehingga sumber daya alam tidak bertahan lama di perut bumi dan uang yang dihasilkannya pun cepat berpisah dengan rakyat Indonesia.

Di tingkat pemerintah daerah, masalah kutukan sumber daya alam yang tidak didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik menyebabkan tidak berjalannya fungsi-fungsi pemerintah daerah dalam memenuhi hak-hak rakyatnya. Pemerintah tingkat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hanya bisa membelanjakan separuh dari 8 trilyun rupiah dana transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana otonomi khusus. Padahal, kemiskinan dan buruknya kualitas layanan publik menjadi menu sehari-hari di Aceh. Sementara di Papua, dana otonomi khusus dibagi merata tiap distrik tanpa ada mekanisme yang memadai dalam pengelolaannya sehingga tingkat pengangguran tinggi dan kelaparan terjadi di daerah-daerah yang ketahanan pangannya rendah.