Merebut kembali peran negara dalam agenda pengurangan kemiskinan: Integrasi Musrenbang Reguler dan PNPM di Kabupaten Gunungkidul

Oleh : Wasingatu Zakiyah

Mengucurnya program kemiskinan tidak menjamin penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul memburuk. Sejak tahun 2005 angka kemiskinan menunjuk pada angka 25.86, tahun 2008 justru berada pada angka 25, 96 (BPS Kabupaten Gunungkidul). Meski program pengurangan kemiskinan dikucurkan oleh berbagai pihak, namun kondisi ini tidak bisa menurunkan tingkat kemiskinan secara significant. Program Jamkesmas, BLT, Raskin, PKH, KUBE, Jamkesos, Paket P2KP, dll.

Program nasional kemiskinan terbesar yang saat ini menjadi konsentrasi pemerintah pusat adalah PNPM Mandiri . Diawali dengan adanya Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dimulai sejak Indonesia mengalami krisis multidimensi dan perubahan politik pada 1998. Fase pertama PPK (PPK I) dimulai pada 1998/1999-2002, PPK II dilaksanakan pada 2003-2006, PPK III awal 2006-2007. Sejak tahun 2008 berubah nama menjadi PNPM Mandiri yang rencananya akan dilaksanakan sampai tahun 2015 sesuai target MDGs. Program ini didanai dari Pinjaman Bank Dunia sebesar pembiayaan PNPM sebesar US$ 744 juta.

Meski sudah banyak program pengurangan kemiskinan namun kelompok miskin tetap saja berada diangka yang tinggi. Banyak Program berlabel penanggulangan kemiskinan. Dulu ada IDT JPS, dll., sekarang ada PNPM Mandiri (PPK, P2KP, P2DT, dll), raskin, BLT. Program ini belum terintegrasi dengan program yang ada di daerah.Proses perencanaannya juga masih terfragmentasi. Ada yang murni direncanakan oleh Pusat, ada yang perencanaannya diserahkan ke daerah. Upaya pemberian bantuan modal sudah dilakukan dengan berbagai skema namun dana yang turun banyak digunakan untuk konsumsi. Sederet permasalahan muncul dalam pemberian dana kepada masyarakat berupa modal usaha. Bantuan modal tidak efektif apabila diberikan ke kelompok. Bantuan justru menyebabkan modal sosial masyarakat berupa kejujuran dan kegotong-royongan malah terkikis. Meski banyak bantuan yang turun namun Pemerintah dianggap kurang responsive dalam merespon permasalahan warga yang mengalami kesulitan ekonomi. Alat produksi petani berupa lahan masih sangat minim dimiliki oleh petani. Belum ada upaya pemerintah untuk melindungi usaha produktif warga terhadap persaingan dari pengusaha bermodal besar. Proses perencanaan program-program kemiskinan (ad-hoc) belum terintegrasi dengan proses perencanaan reguler. Proses perencanaan partisipatif selalu saja kalah dengan politis dan teknokratis. Proses perencanaan banyak diikuti oleh kelompok perempuan. Di beberapa desa tahun yang lalu Musrenbang desa hanya diikuti oleh 2 orang perempuan. Hampir semua fasilitator laki-laki. Delegasi kecamatan juga didominasi laki-laki.

Setelah lebih dari sepuluh tahun berjalan baru disadari bahwa program PNPM memiliki skema perencanaan dan pendanaan sendiri yang terpisah dari skema pemerintah. Proses perencaaan mulai dari menggagas masa depan desa (MMDD), Musyawarah Antar Desa (MAD) dan Musyawarah Desa (MD) berjalan sendiri tanpa kontrol pemerintah. Sementara proses perencanaan yang dijalankan oleh pemerintah sesuai dengan UU 25 tahun 2005 berjalan tanpamengintegrasikan proses yang ada. Pelaksana program pembangunan dan PNPM juga terpisah. Meski mereka berada satu kantor dan bisa berkoordinasi namun pola yang dibangun sejak awal antara program pembangunan reguler dan program PNPM terpisah sama sekali. Hal ini berbeda dengan program lain yang terintegrasi dalam skema pemerintah. Bahkan proses monitoring dan evaluasi, PNPM memiliki skema tersendiri. Mengembalikan peran negara dalam progran penguranagn kemiskinan khususnya PNPM mandiri sangat krusial. Pola ini akan mengembalikan peran negara dalam memenuhi hak warga Upaya mengintegrasikan proses perencanaan reguler dan sektoral (seperti PNPM) di Kabupaten Gunungkidul menjadi bagian dari proses teknokratis untuk mengembalikan peran negara dalam upaya pengurangan kemiskinan. Dialog dan diskusi bersama antara Pemerintah (Bappeda Kabupaten Gunungkidul), pelaksana PNPM propinsi DIY dan kelompok intermediary (Perkumpulan IDEA) menjembatani proses pengintegrasian. Ide ini dilembagakan dalam SE Bupati Gunungkidul Nomor 410/1813 tanggal 16 Desember 2009 tentang pengintegrasian perencanaan dan mulai diimplementasikan tahun 2010.

Surat Edaran Bupati Gunung Kidul 2011