Siaran Pers: Menjelang Lumpuhnya KPK, Perppu Tinggal Janji

Jaringan Antikorupsi (JAK) Yogyakarta mengadakan konferensi pers mendesak presiden agar segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Senin (14/10) di Pusat Kajian Anti Korupsi. JAK merupakan jejaring yang terdiri dari organisasi dan pegiat antikorupsi di Yogyakarta yang mendukung agenda-agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

Salah satu persoalan yang dianggap menghambat agenda pemberantasan korupsi ialah direvisi dan ditetapkannya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) oleh DPR RI dengan dukungan Presiden Republik Indonesia. Alih-alih memperkuat, Revisi tersebut  justru akan melumpuhkan kerja-kerja KPK sebagai lembaga  independen.

Seperti diketahui, Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK menjadi salah satu penyulut gelombang perlawanan mahasiswa dan masyarakat sipil di tanah air. RUU KPK dibaca rakyat sebagai upaya elit untuk melemahkan dan menundukkan KPK di bawah kontrol kekuasaan. Masa depan bangsa menjadi taruhannya. Sehingga gerakan perlawanan terus bergulir semakin luas dan massif.

Hasil revisi UU KPK merupakan alarm tanda bahaya bagi pemberantasan korupsi. Revisi UU KPK yang dikebut menimbulkan banyak cacat, baik dari segi formil maupun materiil. Jaringan Antikorupsi (JAK) Yogyakarta mencatat, terdapat sejumlah implikasi jika RUU KPK berlaku, diantaranya.

Pertama, KPK bukan lagi menjadi lembaga Negara independen. Hal tersebut dapat terlihat pada pasal yang menempatkan KPK pada ranah eksekutif. Selain itu, independedent dalam melakukan fungsi penindakan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan) lantaran harus berkordinasi dengan aparat penegak hukum lain sesuai KUHAP. KPK tidak independent dalam mengelola SDM, hal ini dikarenakan Revisi UU KPK mengamanatkan pegawai KPK sebagai ASN (Pegawai Pemerintah).

Kedua, Aturan yang terdapat dalam Revisi UU KPK menghambat kinerja penanganan perkara. Pembatasan waktu penyidikan dan penuntutan selama dua tahun serta hilangnya beberapa kewenangan dalam penyidikan dapat menjadi indikatornya. Hal tersebut dirasa mengerdilkan kewenangan KPK dalam menangani perkara korupsi yang notabene memiliki modus operandi yang sulit.

Ketiga, kehadiran Dewan Pengawas dalam kelembagaan KPK akan menghambat penanganan perkara korupsi. Izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dimiliki rentan untuk disalahgunakan. Hal ini dikarenakan tidak adanya kode etik yang akan mengikat Dewan Pengawas dalam menjalankan tugasnya.

Keempat, penanganan perkara korupsi di KPK akan mandeg setelah Revisi UU KPK berlaku. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan dan kerancuan dari pasal-pasal yang mengatur mengenai pegawai KPK. Hukum acara pidana tidak mengenal penyidik ASN, sedangkan Revisi UU KPK menyatakan bahwa pegawai KPK merupakan ASN.

Kelima, ketentuan koordinasi penanganan perkara akan menghambat dan mengurangi independensi KPK. Revisi UU KPK mengamanatkan adanya koordinasi penuntutan. Apabila koordinasi yang dimaksud merupakan koordinasi dengan lembaga penegak hukum lain (kejaksaan agung), maka hal tersebut akan menghambat kinerja penanganan perkara dan mengurangi independensi KPK.

Poin-pont di atas menjadi potret bahwa kehadiran Revisi UU KPK adalah upaya sistematis untuk membatasi kewenangan KPK. Untuk menyelamatkan independensi KPK dan pemberantasan korupsi, maka presiden harus segera menerbitkan Peraturan Perppu, Revisi UU KPK akan efektif berlaku mulai 17 Oktober 2019 walau tanpa tanda tangan presiden. Oleh karena itu, menjelang hari-hari lumpuhnya KPK, Jaringan Antikorupsi Yogyakarta Menyatakan

  1. Mengingatkan Presiden untuk memenuhi komitmennya dalam pemberantasan korupsi
  2. Mendesak Presiden untuk menerbitkan Perppu KPK demi menyelamatkan fungsi KPK dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia