Data Kemiskinan dan Sistem Informasi Kemiskinan DIY

Yogyakarta (Idea) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2013 persentase penduduk miskin kota dan desa di DIY sebesar 15,03%. Meski turun dari angka tahun sebelumnya sebesar 15,88 % namun DIY tetap menduduki peringkat 10 besar propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi.

Lantas mengapa kemiskinan di DIY masih berada pada posisi tinggi. Pertama, ketiadaan profil kemiskinan yang memadai menyebabkan adanya kontradiksi antara tingkat kemiskinan dan kesejahteraan. Terdapat kondisi nyaman yang secara kultural dirasakan oleh warga DIY sehingga terdapat kontradiksi antara tingkat kemiskinan yang tinggi berdasarkan indikator BPS di satu sisi sementara disisi lain Index Pembangunan Manusia (IPM) DIY, Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKRAR) dan index kebahagiaan yang menduduki peringkat atas.

Kedua, apabila ditilik dari kelas sosial yang ada maka DIY masih memiliki beban yang berat untuk menyelesaikan persoalan kesejahteraan social warganya. Jumlah penduduk DIY 2012 adalah 3.514.762 (BPS, 2012). Dari jumlah tersebut Kementerian sosial menyebutkan lebih dari 37 ribu lansia di DIY masih terlantar, penyandang disabilitas mencapai lebih dari 33 ribu anak, 1.400 lebih terinfeksi virus HIV & AIDS dan lebih dari 1.600 warga melakukan penyalahgunaan NAPZA.

Ketiga, intervensi program didasarkan pada data/ profil kemiskinan nasional, bukan berdasarkan indikator local. Berdasarkan verifikasi oleh kabupaten/kota ternyata data tersebut berbeda dengan kondisi riil di lapangan. Kesalahan data inilah yang memunculkan konflik horizontal di masyarakat saat implementasi program PK.

Dalam kerangka mengimplementasikan program-program penanggulangan kemiskinan, ketersediaan data tentang siapa dan dimana warga miskin menjadi modal dasar dalam menjalankan program. Akurasi data tentang kemiskinan yang terup-date merupakan sebuah keharusan. Data yang digunakan oleh daerah selama ini mengacu dari data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Ada dua macam data yang dikeluarkan BPS yaitu data kemiskinan makro dan mikro. Data kemiskinan makro biasanya digunakan untuk geographical targeting sedangkan kemiskinan mikro lebih banyak digunakan untuk keperluan household targeting seperti untuk social protection. Data yang sering dijadikan sebagai dasar perencanaan program penanggulangan kemiskinan adalah data mikro yang sudah menyasar pada sasaran rumah tangga warga miskin.

Persoalan muncul di daerah karena data yang dipakai untuk penentuan target sasaran dalam program-program penanggulangan di daerah seringkali kurang memenuhi realita di masyarakat. Situasi ini dapat dilihat dari banyaknya aduan dan masukan dari masyarakat bahwa program penanggulangan kemiskinan ini tidak menyasar bagi orang miskin. Melihat situasi ini, beberapa daerah di tingkat kabupaten/kota telah banyak melakukan upaya memperbaiki kualitas data ini dengan berbagai inovasi. Kabupaten/kota menggunakan indikator lokal dan pembanguanan sistem informasi sebagai alat pemetaan kemiskinan. Data mendekati kondisi riil pun didapat.

Mengingat persoalan kemiskinan adalah persoalan yang multidimensional maka penanganan program kemiskinan musti dilakukan secara terintegrasi dan tidak tumpang tindih. Data yang terkonsolidasi dan sistem informasi kemiskinan diharapkan mampu menjawab persoalan yang selama ini ada. Dalam kerangka inilah Perkumpulan IDEA bekerja sama dengan Ford Foundation bermaksud menindaklanjuti pertemuan terkait dengan pendataan kemiskinan yang berbentuk “Workshop Identifikasi Data Kemiskinan dan Sistem Informasi Kemiskinan DIY” yang diadakan Kemenko Kesra yang diadakan di hotel @home Gowongan 5 September 2014 yang dihadiri oleh seluruh TKPKD kab/kota dan DIY. Proses konsolidasi sistem pendataan dan informasi kemiskinan akan ditindaklanjuti dalam pertemuan ini. Melalui proses ini diharapkan nantinya akan tercapai konsolidasi kebijakan, kelembagaan, metodologi, dan sistem informasi kemiskinan di DIY.