Evaluasi Program Sistem Informasi Kemiskinan

Evaluasi Program Sistem Informasi Kemiskinan, IDEA Gelar Workhsop Monitoring

“Workshop ini merupakan upaya evaluasi IDEA untuk mengukur efektifitas dan manajemen program, baik internal maupun eksternal.Memetakan capaian, kendala dan tantangan pelaksanaan program, serta rekomendasi dan strategi untuk keberlanjutan pasca program”

Workshop monitoring tersebut diselenggarakan langsung oleh IDEA dengan dukungan Ford Foundation selama dua hari di Hotel Santika Yogyakarta. Kegiatan yang diselenggarakan pada hari Kamis-Jum’at (26-27/10) ini membahas evaluasi program yang bertajuk, “Mendorong Sistem Informasi Kemiskinan yang Partisipatif, Transparan dan Akuntabel untuk Mendukung Program Penanggulangan Kemiskinan Daerah”. Terlibat dalam kegiatan ini beberapa perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di seluruh kabupaten/kota/Provinsi DIY, Komisi Informasi DIY, Ombudsman serta kelompok/organisasi masyarakat di DIY.

Kegiatan workshop ini secara resmi dibuka oleh Direktur IDEA, Sunarja. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa IDEA sudah berkomitmen untuk turut serta membantu pemerintah daerah hingga pusat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di DIY. Karenanya, menurut Sunarja, Sistem informasi kemiskinan yang partisipatif, transparan dan akuntabel sangat dibutuhkan untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan di daerah, khsusunya DIY.

“DIY merupakan daerah paling tinggi ketimpangannya, IDEA dan Pemerintah Desa/kabupaten, serta pusat sudah mendorong dan mewujudkan system informasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan DIY,” kata Sunarja.

Sunarja juga menambahkan, terkait adanya persoalan data yang tidak singkron dan terintegrasi, pemkot/kab dan pemprov sudah ada komitmen untuk memperbaikinya, “Pemerintah kota/DIY berkomitmen hitam di atas putih untuk mewujudkan satu data. Sehingga, data desa, kabupaten, kota, dan pusat bisa saling menyambung,” katanya.

Seperti diketahui, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014, jumlah penduduk miskin DIY masih sebesar 14,55%, menduduki peringkat 10 besar propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Bahkan, pada tahun 2016, menurut data BPS,  DIY menempati urutan pertama tingkat kemiskinan tertnggi di Indonesia. Sementara, berbagai program kemiskinan yang terus diupayakan oleh pemerintah, belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin.

Menurut temuan dan analisis IDEA, ada beberapa penyebab yang membuat persoalan tersebut muncul, diantaranya seperti adanya persoalan pendataan yang tidak partisipatif dan pemutakhiran data yang lamban serta ketiadaan satu data kemiskinan yang diintervensi oleh program dari kabupaten/kota, propinsi dan nasional. Kemudianprogram penanggulangan kemiskinan yang kurang transparan dan masyarakat tidak memiliki akses terhadap data dan informasi program penanggulangan kemiskinan tersebut, serta tidak adanya sistem layanan aduan yang terhubung secara langsung dengan perbaikan data dan program penanggulangan kemiskinan

Tata Kelola Data Kemiskinan di DIY

Salah satu output penting dari sistem informasi kemiskinan adalah adanya tata kelola data kemiskinan yang baik. Tata kelola data yang baik dapat diwujudkan dengan satu data. Bambang Heri, peneliti IDEA, yang melakukan kajian dan penelitian terkait tata kelola data kemiskinan di DIY memaparkan banyak hal terkait temuan di lapangan. Baik berupa capaian, kendala hingga rekomendasi, Kamis (26/10).

“Dulu pernah menyepakati BPDT tahun 2012 di level Gubenur DIY dan Wali Kota/ Bupati di seluruh DIY.  BPDT tersebut kemudian diambil oleh kementrian sosial, namun proses verifikasinya berbeda, memakai SLRT, sedangkan DIY sudah membangun aplikasi. Data kemiskinan TKPAD dapat diterimaoleh yang lainnya,” kata Bambang.

Lebih lanjut, Bambang juga memaparkan catatan soal pengelolaan satu data di DIY. Menurutnya, belum adanya integrasi, pemahaman hingga aturan terkait satu data masih menjadi persoalan mendasar di tiap-tiap kabupaten/kota di DIY.  “Website anggaran dari desa, belum terhubung antara sistem yang satu dengan sistem yang lain. Aturan terkait satu data terlalu umum di bawah SK Kades. Transfer pengetahuan orang baru OPD kadang ada yang miss atau tidak nyambung. Kabupatenjuga belum semua mengelola,” tuturnya.

Sri Hidayatai, IRC IDEA, yang saat workhsop menjadi evaluator, merangkum beberapa tantangan dan rekomendasi dari pemaparan lapangan yang dilakukan oleh Bambang Heri,”ada beberapa tantangan dan rekomendasi yang saya tangkap dari pemaparan pak Bambang terkait satu data, seperti kebijakan pemerintah nasional yang mengharuskan memakai data dari kemensos, sistem dan aplikasi yang masih perlu perbaikan, pentingnya sarana dan prasana, serta komitmen untuk menggunakan data dalam prencanaan program penanggulangan kemiskinan,” katanya.

Sebagai informasi, keluaran dari satu data sendiri dintaranya ialah agar pemerintah, khususnya pemerintah desa dapat memanfaatkan SID untuk membuka data perencanaan dan anggaran desa, terbentuknya kelompok warga untuk menyajikan data secara valid, serta membuat desa mengenal indikator kemiskinan dengan adanya BDT.

Open Data Kemiskinan

Di kesempatan yang samaKamis (26/10), dalam workshop ini juga memaparkan hasil kajian dan penelitian terkait Open Data Kemiskinan. Yoga Prameswari, peneliti IDEA, yang memaparkan temuan di lapangan, menyampaikan capaian, kendala hingga rekomendasi terkait program open data. Menurut Yoga, kajian dan penelitian terkait open data lebih difokuskan di Kabupaten Gunung Kidul.

Menurut Yoga, ada beberapa kendala saat awal-awal mengakses data di pemertintah/OPD, seperti bedanya kodefikasi data, “kode rekening Kabupaten dan Kota sama, tapi kodenya berbeda, sehinggga sistem susah mengeblok. Ini mempersulit kita,” ujarnya.

Output/capaian dari open data ini diantaranya ialah tersedianya aplikasi open data kemiskinan yang memasukkan dataset APBD dalam bentuk open data, data anggaran menjadi lebih mudah diakses dan dibaca warga, serta adanya forum masyarakat untuk pemantauan open data anggaran publik.

Layanan Aduan Masyarakat

Pemaparan terkahir evaluasi program sistem informasi kemiskinan ialah terkait mekanisme layanan aduan terpadu dalam masyarakat. Galih Praniluh yang menjadi penanggung jawab dalam kajian dan penelitian ini memaparkan beberapa temuan di lapangan. Menurut Galih, salah satu keluaran dari program ini ialah mendorong adanya forum warga yang melakukan pemantauan lewat kanal lapor.

Sementara, temuan audit sosial yang ditemukan Galih di lapangan diantaranya ialah terkait adanya salah sasaran penerima manfaat program penanggulangan kemiskinan serta kurangnya informasi dan sosialisasi tentang program penanggulangan kemiskinan.

Galih juga memaparkan rekomendasi yang ia serap terkait integrasi audit sosial,” beberapa rekomendasi tersebut diantanya ialah memperkuat komitmen pemda untuk mengintegrasikan layanan aduan dengan kanal lapor, mendorong perlindungan terhadap pelapor, mendorong ombudsman jadi pengawas aduan yang tidak ditindaklanjuti oleh penyedia layanan publik, pengenalan pengelolaan aduan pada warga serta piloting kampung lapor,” katanya

Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut

Di akhir sesi, terhitung sejak pertengahan hari pertama hingga hari terakhir, peserta workshop ini membahas dan memaparakan banyak catatan tantangan dan rekomendasi, baik terkait infrastruktur, tata kelola lembaga hingga regulasi sistem informasi kemiskinan. Proses pemaparan sebelumnya diawali dengan diskusi kelompok yang dibagi menjadi tiga. Seluruh peserta yang hadir, baik dari pemerintah/OPD seperti BKAD, TKPD, Dinsos serta Diskominfo di seluruh kabupaten/kota se DIY, dicampur dan dikelompokkan dengan organisasi masyarakat, pemerintah desa, maupun organisasi negara independen yang mengawasi badan publik seperti lembaga ombudsman DIY, Ombudsman Republik Indonesia, serta Komisi Informasi DIY.

Dari aspek tantangan, kelompok I menyampaikan catatan,” ada banyak tantangan diantaranya, kelembagaan yang belum terakomodir di tingkat pemprov, komitmen singkronisasi data di TNP2K dan Kemensos, serta berubah-ubahnya regulasi tata kelola data,” ujar salah seorang peserta mewakili kelompoknya, Kamis (26/10).

Pun demikian dengan kelompok II, menurut mereka masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan sistem informasi kemiskinan ini. “Tantangannya, komitmen warga untuk mengadu yang belum ada keberanian, regulasi pemprov yang belum optimal, mekanisme sosialisasi yang terbatas, kemudian kelembagaan juga belum ada yang mengawasi serta infrastruktur yang masih belum ada teknik informasinya,” papar kelompok II.

Tidak sama dengan kelompok I dan II, kelompok III yang salah satu anggotanya dari Ombudsman dan Komisi Informasi, justru menyampaikan banyak aspek kebutuhan yang perlu dilakukan untuk pengembangan sistem informasi kemiskinan.” Kita mungkin akan menyampaikan keperluannya saja, diantaranya yakni soal perlunya integrasi sistem informasi, perlu Humas dan SDM dari PPID, perlu adanya komitmen di level implementasi, dari aspek regulasi perlu didorong perbub dan pergub, perlu adanya pertemuan forum PPID secara periodik dari kabupaten/kota hingga provinsi, perlu forum khusus untuk mengelola media daring serta perlunya pemberian raport ke pemerintah/OPD,” ujar kelompok III.

Sementara itu, pembahasan rekomendasi akhirnya dilakukan pada hari kedua workhsop, Jum’at (27/10). Masih dalam kelompok sebelumnya, secara bergantian masing-masing kelompok memaparkan hasil rekomendasi yang sudah dibahas di kelompoknya.Rekomendasi  yang dipaparkan masing-masing kelompok ialah fokus ditujukan terhadap komunitas, pemerintah desa, jejaring CSO, serta pemkab/pemkot hingga pemprov.

Pemaparan pertama langsung disampaikan oleh kelompok I.  Rekomendasi mereka menyorot terkait aplikasi, regulasi dan singkroninasasi sistem informasi, “harus ada yang berani komunikasi dengan pihak desa, penyamaan aplikasi open data, desa harus diberi regulasi kewenangan penuh untuk mengelola datanya sendiri, kemudian sistem dan aplikasinya harus disingkronkan,” ujar kelompok I.

Selanjutnya, rekomendasi cukup banyak disampaikan oleh kelompok II. Mereka menyoroti hampir semua aspek pengembangan sistem informasi kemiskinan, seperti regulasi, infrastruktur, anggaran, SDM, hingga layanan aduan. “rekomendasi darikita, mendorong political will pemda, mendorong PPID mandiri di desa, melibatkankomunitas (CSO) sebagai pemantau, mendorong adanya anggaran PPID desa, kemudian pengarusutaman open data penanggulangan kemiskinan di level pemerintah, serta harus ada sistem layanan informasi terpadunya,” kata kelompok II

Penyampaian rekomendasi terakhir ialah dari kelompok III, mereka merekomendasikan pengadaan sarana dan prasarana dan SOP pengaduan, pertemuan untuk update integrasi program, identifikasi desa/kampung untuk dijadikan piloting/inspirasi, serta adanya pendidikan tentang audit sosial. Pemaparan dari kelompok III ini sekaligus menjadi pungkasan kegiatan workhsop selama dua hari. Di akhir, dipandu oleh Hernindya Wisnu Adji, selaku pegiat IDEA, seluruh peserta sepakat untuk membentuk forum akuntabilitas publik di DIY. Kesepakatan tersebut sekaligus menjadi salah satu bentuk komitmen peserta dalam mengembangkan program sistem informasi kemiskinan yang sudah dibangun selama dua tahun. [AH]