Inisiatif Daerah Memanfaatkan Sistem Informasi Kemiskinan

Diskusi Sesi pertama di hari kedua gelaran Lokakarya Nasional Greget Desa 2017 ini mengusung tema tentang “Inisiatif Daerah dalam Pemanfaatan sistem Informasi Kemiskinan”.  Mengupas tema ini Greget Desa menghadirkan tiga pemateri dari berbagai unsur antara lain, Perwakilan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Gunung Kidul, Priyanto,  Kepala BAPPEDA Kab. Bantul,Fenty Yusdayati, dan Komisinoner Lembaga Ombudsman DIY, Sutrisnowati. Masing-Masing pemateri memaparkan poin berbeda untuk melengkapi konstruksi tema yang diusung.

Diskusi yang dipandu oleh Tenti Kurniawati, menyapa peserta dengan ajakan untuk mendiskusikan kemiskinan ditempat lebih menyenangkan daripada Hotel yakni di Desa Dlingo.  

Mendorong Pemanfaatan Sistem Informasi Desa

Sebagai pemateri pertama Priyanto menyampaikan materi tentang poin Integrasi system informasi kemiskinan yang ini telah dilaksanakan di Gunung Kidul. Gunung Kidul memulai integrasi dengan menggunakan Basis Data Terpadu (BDT). Menurutnya BDT merupakan data yang luar biasa lengkap. Akan tetapi masih belum banyak yang menyadari keunggulanya sehingga yang kurang dimanfaatkanya. Gunung Kidul Berinisiatif mengkombinasikanya dengan data-data nasional yang memang sudah tersedia.

Menurutn Priyanto “ Data ini (BDT) luar biasa, ini belum ada selengkap ini. Namun sayang data ini tidak dimanfaatkan.Ini beberapa variabel yang ada di BDT. Ini sangat penting sekali dan untuk perencanaan bahkan provinsi atau nasional. Sementara data lain variabelnya sama ini sudah ada secara nasional, ini gratis juga dan ini dilindungi kerahasiaan.”

Melalui forum diskusi Greget Desa 2017 ini, Priyanto mendorong agar desa-desa lain mempunyai system informasi desa yang sudah terintegrasi seperti di Gunung Kidul. Karena sistem informasi desa sudah disediakan fasilitasnya oleh pemerintah pusat, seperti melalui domain desa.

“Desa harus punya sistem informasi desa. Sistem informasi desa sudah digeneralisasikan, semua desa dapat membuat domain desa, nama desa itu sendiri diikuti nama kecamatan nama desa-kecamatan.desa.id.” Ajaknya

Sistem informasi Desa dapat memiliki berbagai fungsi yang bermanfaat. Diantaranya untuk mewujudkan penyelenggaraan layanan publik seperti layanan persuratan. Selain itu, juga dapat menjadi wadah jurnalisme warga yang mampu memasarkan potensi daerahnya seperti yang terjadi di Gunungkidul. Sistem Informasi Desa tentunya dapat digunakan untuk mengelola data. Desa yang  telah diberi kewenangan dapat merekam data masyarakat yang miskin atau tidak.

Open Data dan Validitas Data untuk Mengatasi Kemiskinan

Materi selanjutnya yang dibawakan oleh Kepala BAPPEDA Bantul Fenty mengusung pembahasan tentang open data kemiskinan. Selasa 8 Agustus 2017 lalu, Bantul baru saja  meluncurkan Sistem Open Data dan Informasi Kemiskinan. Mengurangi masalah kemiskinan terdapat banyak hal yang perlu dilakukan, salah satunya dengan membuka data. Melalui sistem open data masyarakat dapat  membuka semua data yang dapat diketahui dengan mudah. Seperti halnya tentang data informasi program kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul lengkap beserta alokasi anggaran.

“Open data terkait banyak hal, open data terkait item dan anggaran program kami apa, dan OPD apa yang dilaksanakan”. ujarnya

Ia juga menegaskan kembali bahwa kebenaran data menjadi langkah penting untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Sehingga ia mengingatkan kepada para peserta diskusi yang juga terdiri dari pimpinan daerah untuk menjaga validitas data di daerahnya.

“Jadi banyak hal untuk mengatur kemiskinan, sekali lagi data yang benar akan mengurangi kemiskinan. Silahkan, Pak Bupati, Wali Kota (pemerintah daerah) untuk menangani data ini”.

Pengelolaan Aduan Untuk Layanan  Publik yang Optimal.

Materi terakhir disampaikan Sutrisnowati  membahas hal yang tidak kalah penting dalam pemanfaatan sistem informasi yakni pengelolaan pengaduan masyarakat. Kemiskinan selalu berkaitan dengan pengaduan. Hingga saat ini, pengelolaan aduan layanan publik masih berkutat sebatas melalui kotak saran atau layanan pesan singkat. Penyelenggara layanan public telah merasa gugur kewajibanya ketika sudah menyediakan sarana semacam ini. Padahal, belum tentu aduan masyarakat dapat terkelola dengan baik. Hal ini tidak sepenuhnya benar, aduan menurut Sutrisnowati perlu dikelola. Pengelolaan aduan internal merupakan mekanisme luar biasa, pengelolaan yang baik dapat mengantarkan pada titik keberhasilan penyelenggaraan layanan publik.

“Kalau kita bicara kemiskinan identik dengan aduan, kalau kita bicara aduan pasti cukup dengan kota saran dan sms, foto kopi dan ditempel. Pengaduan harus dikelola, pengaduan internal alat luar biasa.

Kesalahan angapan yang juga sampai saat ini masih sering dipandang keliru adalah kuantitas aduan. Perlu dipahami bersama bahwa semakin banyak aduan tidak menunjukan bahwa penyelenggara layanan tersebut buruk. Sebaliknya semakin sedikit layanan pengaduan tidak juga mencerminkan penyelenggara layanan tersebut baik. Hal ini sedikt banyak berkaitan dengan ketersediaan sarana. Misal di Gunung Kidul aduan masyarakat sedikit ke LOD DIY, sedangkan dari Kota Yogyakarta banyak.  Masyarakat Gunung Kidul tentunya terkendala sarana (Jarak) untuk menyampaikan laporan ke LOD, Berbeda dengan masyarakat Kota yang dengan mudahnya dapat menyampaikan laporan.

“Pengalaman Lembaga Ombudsment di DIY, yang paling banyak adalah di Kota. Paling sedikit adalah Gunungkidul dan Kulonprogo”

Lika-liku Membangun Sistem Informasi Desa

Diskusi memancing antusiasme dari peserta, hal ini tercermin lewat pertanyaan dari salah satu kepala desa dari Magelang. Ia memikirkan bagaimana cara untuk menyelenggarakan sistem informasi desa yang baik. Terlebih pada proses pembangunan dan alokasi asal alokasi anggaran.

“Bagaimana kiat pemerintah daerah menerapkan SIDA di seluruh daerah, regiulasi, anggatan dan sanksi bagi daerah yang tidak menerapkan?”

Priyanto yang telah diberi kesempatan oleh moderator menanggapi pertanyaan ini dengan menarik. Ia menceritakan kondisi dibalik keberhasilan Gunung Kidul mendorong penerapan sistem informasi desa yang tidak semudah bayangan. Tidak sedikit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan hal ini, diperlukan peran serta masyarakat dan juga bantuan dari perguruan tinggi.

“Yang saya paparkan itu cerita indahnya, kalau saya cerita susahnya nanti tidak tertarik. Sistem informasi itu cukup lama 2011, viral 2015/2016 dan lahirnya di Dlingo. Di Gunungkidul agak subur, 2013 kita replikasi di tiga kecamatan lewat PNPM tapi tidak optimal. Di beberapa desa lagi jadi sangat sulit, ketika kita berpikir data, maka kita berpikir data BDT. Tapi untuk desa perlu alat, ini yang perlu kita persiapkan. Bantuan dating dari jurnalisme warga dan 2015- 2016 (dibantu) oleh UGM. Jumlah (anggaran) yang dikeluarkan, kita tidak dari APBD tapi lewat APBDes.. “

Diskusi pertama ini diakhiri dengan teriakan yel –yel dipandu oleh moderator untuk membangkitkan kembali semangat peserta. Setelah ditutupnya diskusi, peserta melanjutkan agenda untuk istirahat makan siang dan bersiap untuk diskusi per kelas selanjutnya. (AH)