Ketimpangan Gender dan Pengaruhnya pada Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Peran penting perempuan dalam perencanaan pembangunan di Desa. Source: IDEA

Salah satu alat ukur untuk melihat kondisi keseteraan dan sekaligus ketimpangan gender di Indonesia ialah Indeks Ketimpangan Gender (IKG). IKG atau Gender Inequality Index (GII) adalah indeks yang menjelaskan sejauh mana kehilangan pencapaian keberhasilan pembangunan dalam tiga aspek pembangunan manusia (kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi ekonomi) sebagai akibat adanya ketimpangan gender. United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2019 merilis data mengenai GII di ASEAN, Indonesia berada di posisi terakhir dengan skor tertinggi 0,480 poin. Sedangkan pada tingkat internasional, GII Indonesia menempati posisi 121 dari total 162 negara (Nugroho, 2022).

Berdasarkan dokumen Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Indeks Ketimpangan Gender yang disusun dengan 5 komponen penentunya, disimpulkan bahwa angka IKG Indonesia pada tahun 2020 menyentuh angka 0,400 (Karyono & Tusianti, 2021). Tren menunjukkan bahwa IKG Indonesia mengalami penurunan sejak 2018-2020. Kendati demikian Indonesia masih perlu mengupayakan tercapainya kesetaraan gender di Indonesia. Data GII oleh UNDP dan IKG oleh BPS menunjukkan kesamaan, Indonesia memiliki ketimpangan gender dengan angka yang cenderung tinggi. Dengan demikian, diperlukan langkah serius untuk menangani isu ini dengan baik. 

Ketimpangan gender bisa terjadi dalam berbagai bidang, termasuk dalam pembangunan. Ketimpangan gender dalam pembangunan merupakan proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Kondisi ini berkaitan dengan disparitas gender yang menghambat partisipasi perempuan dan laki-laki yang adil dalam proses pembangunan (Nugroho, 2022). Perempuan sering dilabeli hanya sebagai pencari nafkah tambahan, pantas mendapatkan upah yang lebih sedikit dibanding laki-laki serta pantas diposisikan pada jabatan dibawah laki-laki. Pelabelan seperti ini berdampak pada kesempatan dan jenis pekerjaan yang lebih terbatas bagi perempuan. Padahal jika kesempatan dan peluang yang didapatkan perempuan dan laki-laki setara maka tidak akan ada ketimpangan gender dan akan berdampak positif juga pada pembangunan gender serta perekonomian Indonesia secara keseluruhan. 

Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Lenny N. Rosalin menyatakan upaya peningkatan tenaga kerja perempuan dapat meningkatkan partisipasi dari kontribusi ekonomi perempuan bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. “Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak positif pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan Gender, Indeks Pemberdayaan Gender karena pada ketiga indeks tersebut faktor ekonomi merupakan aspek yang sangat penting” kata Lenny dalam 1st Side Event G20 Empower ‘Creating Safer Workplace for Women Post Covid-19 Pandemic’ yang diadakan virtual. Adapun berdasarkan data BPS, Angkatan kerja perempuan Indonesia berada pada angka 53 persen, sedangkan angkatan kerja laki-laki mencapai angka 82 persen. “Terjadi kesenjangan gender sekitar 19 persen. Oleh karena itu, inilah waktunya bagi kita untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi dan peran perempuan di tenaga kerja dan di berbagai sektor pembangunan lainnya.” tambah Lenny (KemenPPPA, 2022).

Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota G20, yang diukur melalui PDB negara. PDB Indonesia masuk dalam 20 terbesar di dunia. Menurut data International Monetary Fund (IMF) per 2 November 2022 PDB Indonesia mencapai 1,29 triliun USD dan menempati peringkat 17 terbesar di dunia (Mutia, 2022). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan-III 2022 tumbuh sebanyak 5,72 persen menandakan perekonomian indonesia terus mengalami pertumbuhan meski masih sedikit terdampak pandemi. 

Selain dengan fakta bahwa PDB Indonesia termasuk 20 terbesar di dunia, ada prediksi pada tahun 2030 PDB Indonesia diperkirakan dapat mencapai peringkat 7 terbesar di dunia. Dengan mengandaikan sumber daya manusia yang terdidik dan ikut sertanya perempuan ke dalam lapangan pekerjaan. Dengan demikian Pemerintah Indonesia harus menaruh keseriusan dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia. Adapun jika Pemerintah justru mengabaikan kesetaraan gender maka akan berpengaruh pada pembangunan ekonomi. Dampak lanjutannya adalah Indonesia akan terjebak menjadi negara berpendapatan menengah (Sitorus, 2016). 

Melalui Inpres No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan nasional yang menginstruksikan kepada seluruh pejabat negara, termasuk Gubernur dan Bupati/ Walikota untuk melaksanakan PUG di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan PUG dalam Inpres ini hakikatnya sangat baik untuk mengupayakan kesetaraan gender di Indonesia, akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan masih mengalami kendala sehingga harapan tercapainya kesetaraan gender melalui Inpres No.9 tahun 2000 belum terwujud. Dengan adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesetaraan gender, maka sudah seharusnya Pemerintah Indonesia membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong kesetaraan gender. Misalnya dengan memperkuat dan mematenkan penerapan PUG yang tertera dalam Inpres No.9 tahun 2000. Sehingga pembangunan ekonomi di Indonesia dapat menjadi lebih baik kedepannya. 

Kesetaraan gender merujuk pada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajibannya. Akan tetapi untuk mencapai kesetaraan gender bukanlah perkara mudah, Indonesia masih berupaya mencapai tujuan ini. IKG Indonesia 2018-2020 dari BPS menunjukkan bahwa ketimpangan gender di Indonesia mencapai angka 0,400. Selain itu, GII yang diterbitkan UNDP juga menyatakan ketimpangan gender Indonesia menempati peringkat 121 dari 162 negara. Kendati demikian Pemerintah Indonesia sudah berupaya mengambil langkah menangani kondisi ini, yaitu dengan mengeluarkan Inpres No.9 tahun 2000 yang berisikan imbauan kepada seluruh pejabat negara untuk menerapkan Pengarusutamaan Gender (PUG), meski dalam penerapannya belum terlihat perbedaan dan perubahan signifikan tercapainya kesetaraan gender. 

Mencapai kesetaraan gender memiliki urgensi untuk segera dilakukan, karena ketika terjadi ketimpangan gender maka ada banyak kondisi yang ikut terpengaruh, salah satunya adalah pembangunan ekonomi. Ketika kesetaraan gender dicapai maka akan memberikan dampak positif dalam jangka panjang. Sehingga sudah saatnya menghentikan disparitas gender, ketimpangan gender dan berbagai kesenjangan antar gender demi mencapai kondisi perekonomian yang lebih baik. Menerapkan PUG dengan lebih baik di lapangan sehingga memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan perekonomian Indonesia yang lebih baik.  [Apprentice: Sabrina, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).

Referensi:

BPS. (n.d.). IKG (Indeks Ketimpangan Gender). Retrieved from Badan Pusat Statistik : https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/1010

Karyono, Y., & Tusianti, E. (2021). Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender 2021. Jakarta: BPS RI.

KemenPPPA. (2022, March 30). G20 EMPOWER : PENINGKATAN TENAGA KERJA PEREMPUAN DUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA. Retrieved from Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3817/g20-empower-peningkatan-tenaga-kerja-perempuan-dukung-pertumbuhan-ekonomi-negara

Mutia, A. (2022, November 2). Daftar 20 Negara Ekonomi Terkuat di Dunia 2022, Indonesia Masuk Daftar. Retrieved from databoks: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/02/daftar-20-negara-ekonomi-terkuat-di-dunia-2022-indonesia-masuk-daftar

Nugroho, H. P. (2022, July 13). Disparitas Gender dan Pembangunan Ekonomi. Retrieved from Kemenkeu Ditjen Pembendaharaan: https://djpb.kemenkeu.go.id/kanwil/sumbar/id/data-publikasi/berita-terbaru/2949-disparitas-gender-dan-pembangunan-ekonomi.html

Sitorus, A. V. (2016). DAMPAK KETIMPANGAN GENDER TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA. Sosio Informa Vol. 2, No. 01, 89-101.