Melirik Inovasi Baru Transparansi Akuntabilitas

Lokakarya Nasional Greget Desa 2017 sudah memasuki hari kedua pada Kamis, (08/17). Tepat di jam 15.00 WIB, acara yang dijadwalkan berupa diskusi kelas sesi II. Tema utama dalam diskusi kelas tersebut adalah Inovasi Tranparansi Akuntabilitas. Rangkaian ini merupakan kelanjutan dari diskusi kelas sebelumnya yang membahas tema yang berbeda.

Dalam diskusi kelas sesi II, hadir beberapa narasumber inti, diantaranya dari Relawan Prenggan, Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), JMKP Kulon Progo, YPKM Makasar, serta Tim pengelola SID desa Girisuko. Mereka menyampaikan materi di tiga kelas berbeda, dengan diikuti 35an peserta di masing-masing kelas. Diskusi kelas kali ini disampaikan sembari diselingi dengan beberapa game dan sharing, sehingga suasana kelas menjadi lebih interaktif.

Alimatul Qibtiyah, yang menjadi salah satu  narasumber pada pembahasan ‘Menginisiasi Transparansi dan Akuntabilitas Melalui Kampung Antikorupsi’ bercerita terntang keterlibatannya dalam gerakan antikorupsi bersama para perempuan yang kemudian popular disebut SPAK. “Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) berdiri pada tahun 2014 dan akhirnya menjadi gerakan secara nasional. Kegiatannya banyak berupa permainan, baik untuk anak tk, sd dan dewasa” Kata Alim.

Kemudian Alim menyampaikan pandangannya terkait tingginya potensi korupsi di tingkat desa. Menurutnya, banyak problem yang mendasari masalah itu muncul, salah satunya, seperti lemahnya peninjauan dan monitoring. “Sebagaian besar korupsi terjadi  saat mengunakan anggaran. Potensi itu rawan muncul jika saat pembahasan dan perencanaan soal APBD desa masyarakat tidak dating, ditambah  tidak adanya peninjauan dan monitoring,” jelas Alim.

Alim menegaskan bahwa potensi munculnya korupsi di desa bisa muncul dari lima hal, yakni saat Perencanaan, Pengadaan, Pelaksanaan, Pertanggungjawaban, Pengawasanan dan, monitoring. Karenannya untuk meminimalisir potensi korup tersebut, kata Alim, masyarakat harus membiasakan praktek tiga L. “ Ingat tiga L untuk memberantas korupsi, Lihat, Lawan, dan Lapor,” Kata Alim sambil meminta peseerta kelas menirukan ucapannya.

Praktek Audit Sosial Program Penanggulangan Kemiskinan

Sementara itu, di kelas yang berbeda dengan materi dan pembicara yang berbeda pula, topik penting mengenai ‘Praktek Audit Sosial Program Penanggulangan Kemiskinan’ juga dibahas. Pembahasan ini diawali oleh penyampaian Rosmiyatun dari JMKP. Ia menuturkan bahwa praktek audit sosial yang ia kaji ialah terkait bantuan siswa miskin. Hal itu, menurut Ros, disebabkan adanya temuan di lapangan terkait ketimpangan penerima bantuan.

Lebih detail, Ros mengungkapkan bahwa temuannya terkair ketimpangan penerima bantuan siswa miskin muncul sebab beberapa persoalan, diantaranya seperti diungkakan oleh Ros ialah Kurangnya sosialisasi oleh pihak sekolah, tidak transparannya pihak sekolah, partisipasi yang hanya diikuti oleh pemerintah daerah dan pusat, tidak tepatnya sasaran, serta belum dilibatkannya warga masayarakat sipil dalam proses control.

Terkait upaya yang ia bisa dilakukan kaitannya dengan audit social penanggulangan kemiskinan, Ros merekomendasikan beberapa langkah penting yang bisa dilakukan oleh para pegiat dan pemerintah.

”Kita perlu mendorong pegunanaan basis data terpadu, melibatkan partsipasi warga miskin, mendorong progam kebijakan kemiskinan dari desa sampai tingkat yang lebih tinggi supaya tidak tumpang tindih, memberikan informasi, medorong pemerintah agar meningkatkan kapasditas bagi masyarakat, mendorong pertemuan monitoring yang melibatkan warga, dilaksakan min 1 x semester, mendorong pemerintah palin bahwah yaitu RT, serta memberikan layanan yang mudah diakases oleh masyarakat msikin dan bisa ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah,” Pungkas Ros.

Pemutakhiran BDT dengan Metode AKP

Diskusi  menarik yang tak luput dibahas ialah soal teknis pemutakhiran Basis Data Terpadu (BDT) dengan metode Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP). Dalam diskusi ini ada dua pembicara yang menjelaskan secara rinci terkait tema diatas.  Keduanya menjelaskan pemahaman dan pengalamannya yang diperoleh selama aktif mendampingi masyarakat.

Wahyu Setianingsih, salah satu pembicara diskusi ini menceritakan pengalamannya saat pertama kali mempraktikkan metode ini. Ia bercerita bahwa dirinya sudah bersinggungan dengan masyarakat sejak 9 tahun yang lalu.

“ Saya sering berhubungan dengan masyarakat sejak 2008. Kami diminta bercerita tentang penutakhiran basis data. Secara keseluruhan data kemiskinan banyak sekali perbedaan dengan realita. Banyak program pemerintah yang tida tepat sasaran. Contohnya bantuan langsung tunai banyak darii penduduk dengan tingkat ekonomi tinggi yang mendapatkan. Kami mencoba melakukan pendataan untuk mengenali penduduk miskin,” tutur perempuan yang akrab disapa Wahyu itu.

Wahyu menyayangkan terkait minimnya perhatian masyarakat, khususnya perangkat desa terhadap pengelolaan data yang amburadul. Desa menurut Wahyu adalah sumber data, tetapi miskin akan data. Dirinya akhirnya berinisitif untuk mengambil langkah penting bersama-sama dengan para pemehati desa dan perangkat pemerintah guna memperbaiki system tata kelola data.

“Tahun 2011 IDEA bersama CRI dan SAPA kami dikenalkan dengan sistem Informasi desa.. Pada 2015 mendapatkan dukungan penuh dari Bappeda Gunung kidul, kami mulai mendapatkan BDT. Kami difasilitasi untuk workshop- workshop dan pelatihan-pelatihan untuk verifikasi dan validasi BDT ini. Untuk validasi data BDT ternyata begitu rumit, utamanya saat pendataan ulang,” kata Wahyu.

Lebih lanjut, Wahyu mengingatkan, bahwa dalam proses validasi data, ada delapan kriteria dalam data kemiskinan, hal tersebut, kata Wahyu, meliputi status tumah tangga tetap, rumah tangga berubah, rumah tangga pindah, ganti kepala rumah tangga, jumlah keluarga berubah, rumah tangga miskin baru, serta rumah tangga tidak dikenal

Sementara itu, Zakaria, narasumber lain dalam diskusi ini menjelaskan diawal bahwa  penyebab Kemiskinan dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Orang bisa tiba-tiba miskin jika wilayahnya merupakan kantong banjir atau kantong endemik. Maka, menurutnya, melihat penyebab kemiskinan harus dilihat dari empat aspek mendasar seperti, minimnya daya dukung lingkungan, minimnya daya dukung peningkatan kemampuan, ketidakberdayaan dalam memenuhi hak dasar, serta regulasi kebijakan yang tidak memihak warga miskin.

Untuk melakukan upaya-upaya pengentasan, menurut wahyu, ada empat hal yang bisa dilakukan, hal itu diantaranya meliputi upaya-upaya Kajian kemiskinan partisipatif berbasis teritorial/spasial, kajian kemiskinan  partisipatif berbasis mata pencaharian, kajian kemiskinan partisipatif berbasis keluarga miskin serta assesment regulasi.

“Usulan musrenbang seringkali didasarkan pada keinginan bukan kebutuhan. Karakteristik warga miskin, di dalam forum pertemuan tidak akan mengaku miskin dan hanya menunggu diusulkan. Inilah mengapa dibutuhkan AKP.  Kami mengupayakan suara si miskin masuk di dalam pembahasan. AKP sebagai instrumen memasukkan pandangan si miskin,” tegasnya.

Di akhir  pemaparannya, Zakaria berharap agar peserta memperluas ruang gerak saat berniat melakukan perubahan. Ini penting, sebab menurut Zakaria, ruang perubahan bisa saja muncul dari di banyak pemangku kebijakan. “Saya berharap, kawan-kawan jangan hanya bergerak pada level desa. Karena kita ingin membuka mata pemerintah bahwa data kita lebih presisi. Agar bisa ditarik ke Kabupaten, maka indikatornya harus sama. Tim desa silahkan untuk berusaha membuat data yang presisi,” katanya. (AH)