Siaran Pers: Sengkarut Penyaluran Bansos Covid-19 di DIY

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah yang turut terdampak pandemi Covid-19. Selain berdampak pada Kesehatan, pandemi covid juga berdampak langsung terhadap perekonomian warga. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengeluarkan kebijakan penanganan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19. Perppu itu mengatur cakupan anggaran yang dialokasikan di empat bidang, yaitu kesehatan, Jaring Pengaman Sosial (JPS), insentif perpajakan, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut masih terus diwarnai masalah, khususnya pada bidang Kesehatan dan program JPS.

Di Provinsi DIY, IDEA melalukan pemantauan terhadap proses Pengadaan Barang-Jasa (PBJ) dan penyaluran program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pada proses PBJ, pemantauan difokuskan pada aspek distribusi alat Material Kesehatan, baik dari Pemerintah Pusat ke Provinsi hingga distribusi provinsi ke fasilitas Kesehatan rujukan dan non rujukan Covid-19 di DIY. Sedangkan untuk pemantauan program JPS, IDEA fokus setidaknya pada penyaluran 5 jenis bantuan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Provinsi/Kab, serta Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD).

Dalam melakukan pemantauan, IDEA menyoroti beberapa modus dan titik rawan penyalahgunaan yang sering terjadi dalam penyaluran bantuan sosial antara lain seperti, politisasi bantuan, tidak tepat sasaran, penyaluran/penerimaan ganda, pemotongan nilai bantuan, serta pungutan liar.

Khusus untuk kasus tidak tepat sasaran dibagi menjadi dua yaitu, exclusion error dan inclusion error. Exclusion error adalah warga terdampak Covid-19[1], tidak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan tidak menerima bantuan. Sedangkan inclusion error ialah warga kriteria mampu yang tidak layak menerima bantuan namun justru menerima bantuan sosial.

Metode pemantauan yang dilakukan IDEA ialah dengan membuka posko aduan, melakukan penelusuran di media massa, kajian dokumen, serta wawancara mendalam, baik ke pelapor maupun terlapor.

Selama melakukan pemantauan, terhitung sejak pembukaan posko aduan pada Selasa 4 Juni 2020, IDEA memiliki beberapa temuan terkait sengkarut penyaluran bansos untuk penanganan dampak Covid-19 di DIY.  Menurut data yang IDEA himpun dari aduan warga, penelusuran media dan dokumen dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan DIY, setidaknya ditemukan 53 kasus yang berhubungan langsung dengan penyaluran program JPS.

Dari 53 temuan terebut, kasus paling banyak ialah tidak tepat sasaran, dengan jumlah temuan sebanyak 45 kasus, transparansi data ada 3 kasus, selebihnya terdapat temuan permasalahan berupa pemotongan bantuan, penggelapan, dan penyaluran ganda, masing-masing 1 kasus, serta 2 kasus lainnya yang belum terverifikasi. Dari sisi sebaran wilayah, daerah paling banyak terjadi kasus ialah Kabupaten Bantul, dengan jumlah temuan sebanyak 33 kasus, sedangkan terdapat 7 kasus di Kabupaten Sleman, 4 kasus di Kota Yogyakarta, 5 kasus di Kabupaten Gunungkidul, 1 kasus di Kabupaten Kulon Progo dan 3 Kasus di Provinsi DIY.

Tingginya kasus tidak tepat sasaran dalam penyaluran bansos covid-19, menurut IDEA, setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama,  perbedaan metode pendataan. Dalam jenis bantuan PKH metode pendataan menggunakan metode berbasis Rumah Tangga, sedangkan BST berbasis kepada warga terdampak. Perbedaan metode pendataan berdampak pada adanya warga yang menerima bantuan ganda, sedangkan di sisi yang lain masih ada warga yang seharusnya berhak menerima namun tidak menerima.

Kedua, persoalan Tata Kala Penyaluran. Pemerintah belum memiliki peraturan mengenai urutan penyaluran bantuan kepada warga yang berhak menerima. Sedangkan jenis program bantuan sosial memiliki banyak jenis yang disalurkan pada periode waktu yang sama. Hal ini berdampak pada dua jenis bantuan yang berbeda disalurkan dalam waktu yang bersamaan dengan penerima manfaat yang sama pula.

Ketiga, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak diupdate. Dari hasil penelusuran lapangan, DTKS yang dipakai pemerintah ternyata menggunakan data tahun 2015. Sedangkan, kondisi sosial-ekonomi warga terus mengalami perubahan. Kendati pemerintah desa dianjurkan untuk melakukan verifikasi DTKS, namun hal tersebut ternyata tidak menunjukan hasil yang efektif. Hal ini terbukti dari adanya kasus yang muncul, misalnya warga yang saat ini masuk kedalam DTKS namun kondisi perekonomian keluarga sudah relatif sejahtera.

Dari hasil analisis diatas, setidaknya terdapat dua hal yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus melakukan sinkronisasi hasil update data DTKS antara pusat dan daerah. Kedua, pemerintah harus membuat aturan tentang tata kala atau waktu penyaluran antara jenis bantuan dengan jenis bantuan yang lain.

Narahubung : 0896-4185-61133 (IDEA)

[1] Lihat Pasal 8A ayat (2) dan (3) Permendesa Nomor 6 tahun-2020, Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020