Dalam Krisis, Siapa Mendukung Siapa?

Di Jakarta beberapa waktu lalu, saya sempat berdebat sengit dengan seorang lead economist Bank Dunia. Kami berbeda pendapat perihal siapa sebenarnya yang mesti membayar biaya pemulihan ekonomi, setelah anjloknya rupiah di pasar uang internasional kemudian merembet ke sektor moneter dan sektor riil. Perdebatan ini dimulai dari beberapa pertanyaan sederhana yang –sepengetahuan saya—selalu muncul dari skenario pemulihan ekonomi yang advocated oleh Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF). Pertanyaan itu adalah; bukankah pemerintah mengemban risiko penyelamatan sektor swasta dengan mengambil alih bank-bank yang collapse? Bukankah sektor swasta juga yang akan mengambil untung ketika bank-bank bobrok itu sudah direkapitalisasi dan kemudian diswastakan kembali?

Secara sederhana, sang ekonom menjelaskan salah satu sebab yang mendorong pemerintah melakukan take over atas bank-bank swasta yang mengalami default. Dengan ilustrasi neraca sebuah bank, menurutnya, pemerintah memastikan seluruh deposan bisa mendapatkan kembali uangnya karena pemerintah menyuntikkan dana talangan (bail out fund) di sisi kewajiban bank yang mengalami krisis likuiditas. Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu terpampang spanduk-spanduk di depan kantor-kantor bank yang menerangkan bahwa dana masyarakat aman karena dijamin pemerintah. Itu juga yang menyebabkan brosur sejumlah bank yang dulunya milik swasta kini dibubuhi catatan; Milik Pemerintah.

Masuk akal. Bahkan, ekonom tersebut mengatakan bahwa pemerintah berani menanggung tambahan beban utang domestik sebesar US$ 85,7 miliar untuk rekapitalisasi perbankan yang bermuara pada kepentingan masyarakat atas dananya yang disimpan di bank. Tambahan beban itu, memang pada akhirnya membebani anggaran negara (APBN) sehingga mengurangi kemampuan pemerintah mendanai aktivitasnya maupun penanaman modal untuk merangsang pemulihan ekonomi maupun –ini yang terpenting—penyediaan public goods dan layanan sosial (social service) berupa pendidikan (education) dan kesehatan (healthcare).

Siapakah Masyarakat?

Sampai di sini muncul pertanyaan; siapakah sebenarnya yang disebut masyarakat atau rakyat dalam kisah heroik penyelamatan bank-bank bobrok itu? Dalam perspektif sang ekonom, rakyat adalah para pemilik deposito dan tabungan di bank-bank itu. Jawaban yang mudah dimengerti. Lalu, siapakah sebenarnya masyarakat dalam konteks menurunnya kemampuan pemerintah dalam membelanjai layanan sosial? Sayangnya, pertanyaan ini tidak sempat kami perdebatkan. Dan jawabannya adalah; satu kelas dalam struktur masyarakat Indonesia yang secara mudah diidentifikasi sebagai vulnerable people, less developed people atau poor people.

Dua jawaban tersebut tidak menunjuk arah yang sama kendatipun keduanya mungkin beririsan. Sebagian masyarakat miskin, mungkin memiliki simpanan di bank. Namun, tidak perlu diperdebatkan bahwa sebagian pemilik simpanan berjumlah besar di bank-bank itu bukanlah kaum miskin. Mereka adalah lapisan masyarakat kaya atau mungkin sangat kaya. Mereka mungkin sekaligus juga debitur raksasa yang ikut menguras likuiditas bank. Ini masyarakat lain yang ada dalam perspektif sang ekonom namun tidak pernah disebut.

Lapisan penguras likuiditas bank ini, sedikit banyak diuntungkan oleh upaya penyelamatan perbankan yang dilakukan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Nalarnya sederhana saja. Dengan mengambil alih bank-bank bobrok, pemerintah melalui BPPN sementara mengambil alih kewajiban debitur raksasa yang macet itu agar dana deposan tetap bisa ditarik. Maunya sih, debitur bandel itu akan dikejar kemudian. Tapi, sampai sekarang terlihat nyata betapa sulitnya menarik debitur-debitur besar itu untuk menunaikan kewajibannya membayar utang.

Sekalipun BPPN sudah melakukan berbagai langkah –termasuk ultimatum dan sedikit mempermalukan para debitur bandel dengan mengumumkan kategori dan nama-nama mereka—toh uang yang kepalang bobol tak mudah kembali. Dan penanganan hukum untuk mereka juga tersendat-sendat. Jadinya, terkesan sungguh enak menjadi debitur macet di negeri ini selama masih ada pemerintah dan BPPN yang mau menyelamatkan bank-bank itu.

Kembali ke masyarakat yang disebut miskin tadi, data statistik menyebutkan jumlah mereka –yang hidup di bawah garis kemiskinan—meledak dari 23 juta jiwa (11persen dari total populasi penduduk) pada tahun 1996 menjadi dua kali lipat, 50 juta jiwa (24 persen dari populasi penduduk) pada tahun 1998. Artinya, seperti laporan seminar Japan International Cooperations Agency (JICA) tentang pemulihan ekonomi Indonesia di Tokyo beberapa waktu lalu mancatat, Indonesia memerlukan waktu 5-10 tahun untuk kembali ke situasi sebelum krisis. Alasannya, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 6,2 persen per tahun, Indonesia membutuhkan waktu 12 tahun (1983-1995) untuk mengurangi jumlah penduduk menjadi hanya 13 persen. Situasi ini menyebabkan masalah penduduk miskin tidak bisa diperlakukan sebagai problem jangka pendek melainkan harus dianggap sebagai problem jangka menengah atau bahkan jangka panjang.

Kenaikan tajam jumlah penduduk miskin ini terasa sangat kontras ketika kita menemukan banyaknya penyelewengan program jaring pengaman sosial (JPS) maupun yang lebih substansial yakni penurunan anggaran sosial dalam APBN yang selama tiga tahun terakhir telah menyusut lebih dari separuh. Padahal, anggaran pemerintah untuk menyantuni mereka mestinya berbanding lurus dengan jumlah penduduk miskin. Bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, alasan pemerintah untuk itu terasa klasik dan repetitif; negara sedang dirundung malang sehingga semua harus mengetatkan ikat pinggang. Penting dicatat, itu juga yang direkomendasikan Bank Dunia maupun IMF dengan kata kunci sound economic management. Maka, tak mengherankan jika pemerintahpun kemudian memotong segala bentuk subsidi, dari pupuk sampai bahan bakar minyak.

Kalaupun pengetatan ikat pinggang dan segala bentuk penghematan (austerity) itu adalah bagian dari yang dimaksud sound economic management, di manakah kita bisa menemukan konsistensi pada tingkat implementasi kebijakan? Memang agak sulit untuk menemukan di mana konsistensi kebijakan pemerintah itu. Di satu sisi pemerintah memotong segala bentuk subsidi namun di sisi lain menaikkan gaji pegawai tingginya sehingga menciptakan kesenjangan sekaligus kecemburuan di kalangan pegawai pemerintah rendahan.

Di sisi yang lain, pemerintah masih membiarkan gaji top management perusahaan negara (BUMN) begitu besar ditambah berbagai fasilitas yang wah. Suatu ketika pemerintah menyatakan iktikadnya memulihkan kondisi dan mengurangi beban perekonomian. Namun pada saat yang sama pemerintah terus-terusan menjaring utang dari luar negeri maupun domestik tanpa berhitung risiko dan kapasitasnya membayar kembali. Pernah pemerintah berniat membasmi koruptor namun tidak ada satu kasuspun yang selesai dengan memuaskan.

Dengan inkonsistensi itu, tampak benar bahwa penghematan hanya berlaku bagi masyarakat miskin, yang dalam masa krisis ini sebenarnya tidak mungkin lebih berhemat lagi. Masalahnya, untuk apa dan siapa masyarakat miskin mesti berhemat dan merelakan hak-haknya mendapatkan pelayanan pemerintah tidak terpenuhi?

Model Protective Shells

Dilingkupi krisis berkepanjangan, pemerintah dan elit politik pada dasarnya ada di bawah ancaman krisis legitimasi. Ini konsekuensi langsung dari klaim mereka atas institusi negara yang tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat. Namun, sesuai model paling awal hubungan negara-masyarakat sipil, elit politik at all cost tetap berusaha melakukan dominasi atas masyarakat, melalui negara.

Berkat penguasaan atas perangkat-perangkat negara, sementara akses masyarakat sipil terhadap instrumen itu sangat terbatas, elit politik memiliki keleluasaan untuk mendudukkan posisinya, sekaligus posisi masyarakat sipil yang lembek. Dengan beberapa asumsi, persoalan legitimasi elit politik akan mudah diatasi karena mereka bisa memainkan hubungan antara negara dan masyarakat sipil dalam situasi krisis.

Dalam model protective shells, negara menjadi pelindung luar dari masyarakat sipil terhadap setiap tekanan. Namun, model ini mengasumsikan sebuah negara yang dibangun dari konsensus masyarakat, dengan beberapa varian di Timur maupun Barat.

Hanya saja, untuk sebuah negara yang dibangun di atas klaim elit politik seperti Indonesia, justru masyarakat sipil yang menjadi jaket pelindung negara yang secara instrumental dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan mereka sendiri.

Untuk kasus penghematan dalam upaya pemulihan ekonomi, terlihat benar bahwa masyarakat sipil, khususnya kaum miskin yang belum empowered, menjadi pelindung eksistensi negara yang ditumpangi kepentingan elit politik. Lebih menyedihkan lagi, elit politik nyatanya tidak pernah berupaya sungguh-sungguh menjaga ketahanan jaket pelindungnya, melainkan ‘kutu-kutu gemuk’ di tubuhnya yang ikut memanfaatkan pengorbanan kaum miskin. Tampaknya masih jauh benar jarak dari situasi berimpitnya negara dan masyarakat sipil, atau setidaknya kesetaraan masyarakat sipil dan political society dalam identitas negara.

Wahyu W. Basjir, direktur Institute for Development and Economic Analysis (IDEA)