Sebuah Kado Pahit di Hari Perempuan Nasional

Pak Bejo, tetangga depan rumah, menceritakan dengan wajah yang kusut ketika saya bertemu dengannya sore itu. Istrinya baru saja pulang dari rumah sakit karena harus dioperasi dan diangkat rahimnya. Katanya, ia habis hampir 5 juta untuk operasi ini. Ia tidak punya pilihan lain, karena istrinya mengalami infeksi di rahim sampai bernanah dan berbau busuk. Katanya lagi, hal ini karena spiral yang terpasang sudah kadaluarsa. Sudah delapan tahun spiral itu terpasang dan belum sempat dicopot, padahal jangka waktu spiralnya hanya 5 tahun. Ia tidak bercerita mengapa, tapi biaya pencopotan spiral yang mahal langsung terlintas di benak saya ketika kabar ia sakit beredar.

Sorenya, ketika saya cerita kalau ada program KB gratis dari pengurangan subsidi BBM di reriungan ibu-ibu yang menyuapi anaknya di lapangan voli, spontan ibu di sebelah saya menjawab,”Susah mbak, ngurusnya berbelit-belit”. Yang lain menimpali, ”Gratis alatnya, Mbak. Tapi, ada ongkos transportnya karena harus pasang di RS”. Karena susah dan ribetnya program KB gratis tadi, maka sebagian ibu-ibu memilih mengeluarkan uang dari kocek sendiri untuk periksa KB di bidan atau Puskesmas. Kata Mbak Mun, ia mengeluarkan Rp 10 ribu untuk suntik KB yang berjangka 3 bulan. Ya, menyisihkan sedikit lah dari uang belanja keluarga yang terbatas. Tapi, yang memiliki kesadaran seperti ini tidak banyak. Sebagian besar yang lain lebih memilih untuk tidak ber-KB, atau menunda periksa KB karena mahalnya tarif. Jadi, jangan heran kalau melihat Mbak Rawit yang menggendong bayinya yang keenam sambil menggandeng naknya yang berumur 1,5 tahun. Atau, Mbak Sri yang setiap sore menyuapi 6 anaknya sekaligus sambil meninabobokan si bungsu yang berumur 1 bulan.

Di tingkat daerah, perhatian pemerintah terhadap kesehatan ibu juga sangat minim. Hal ini terlihat dari sedikitnya program kesehatan yang langsung menyentuh kebutuhan perempuan. Di RAPBD 2005 misalnya, hanya ada Rp 34,2 Juta saja untuk Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Keluarga Miskin. Dengan jumlah keluarga miskin yang sebanyak 18.119 Jiwa, maka hanya ada alokasi sebesar Rp 1.889,- saja yang diterima oleh perempuan miskin (karena program ini menyasar perempuan). Jumlah yang sangat minim untuk sebuah pelayanan kesehatan reproduksi.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan ibu di dusun ini juga menyayat hati bila mengingat bahwa retribusi kesehatan yang mayoritas dibayarkan oleh perempuan dan anak, merupakan penyumbang PAD nomer 2 terbesar di kabupaten Sleman. Tahun 2005 saja, retribusi kesehatan ini ditargetkan menyumbang 11,95 Miliar ke kas daerah. Jumlah ini sedikit dibawah target pemasukan dari Pajak Penerangan Jalan yang mencapai Rp 16,26 Miliar. Sayangnya, di sisi pengeluaran, imbal balik yang diterima masyarakat, terutama perempuan sangatlah minim. Contoh bentuk kegiatan yang lain adalah support untuk Posyandu, yang memegang peran kunci dalam kesehatan ibu dan balita di kampung. Dalam anggaran tahun 2005, alokasi untuk Posyandu seluruh kabupaten selama 1 tahun hanya sebesar Rp 18 Juta, untuk 17 kecamatan. Dengan kata lain, hanya Rp 88.200,-  saja yang bakal diterima oleh Posyandu 1 kecamatan setiap bulannya. Bila dalam satu kecamatan ada 10 posyandu, maka hanya Rp 8.820,- saja yang bakal diterima oleh setiap posyandu setiap bulannya. Jumlah yang hanya cukup untuk sekilo gula dan kacang hijau, untuk bubur kacang hijau 20 bayi dan balita.

Dampaknya, adalah menjamurnya problem kesehatan kesehatan balita di beberapa kantung kemiskinan, seperti di kampung di mana saya tinggal. Bu Yus, kader Posyandu yang selalu ketempatan acara penimbangan balita bulanan, menjawab dengan nada yang datar ketika saya singgung dengan cerita di atas. Ia menimpali dengan menceritakan ketiadaan perhatian dari Pemerintah terhadap Posyandu yang masih tetap hidup hingga hari ini. Berbeda dengan jaman jayanya Posyandu di era tahun 80-an, ia bercerita bahwa saat ini, tidak ada sesenpun dana dari Pemerintah yang masuk ke Posyandu. Ketika saya tanya, apakah ada bentuk lain seperti makanan tambahan dan susu, ia hanya menggelengkan kepala. Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, kemana larinya dana Posyandu kalau tidak ada yang sampai di bawah?

Jadi, wajar saja kalau hanya bubur kacang hijau dicampur beras sajalah yang bisa disediakan sebagai makanan tambahan untuk bayi dan balita setiap posyandu. Itupun, buburnya sangat encer dan hambar, karena kurang kacang dan santan. Ya, mana cukup dengan iuran Rp 500,- per balita untuk bikin bubur yang kental dan legit? Dengan uang yang minim pula, maka hanya penimbangan bayi dengan timbangan gantung saja yang bisa disediakan di Posyandu. Karena tidak bisa menyediakan timbangan duduk, bayi dan anak-anak yang menangis karena takut di timbang dengan menggunakan timbangan beras adalah hal biasa bagi ibu kader yang setia menjalani profesi tanpa honor tersebut. Tentang penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan dari Petugas Puskesmas? Wah, jangan harap, biarpun jarak ke Puskesmas Pembantu hanya 200 meter dari tempat pelaksanaan Posyandu.

Lalu, seperti apa gambaran balita di kampung kami? Anaknya Mbak Nur yang berumur 2 tahun, hanya seberat 8 kilogram, jauh di bawah berat badan standar. Perutnya tampak buncit, dan matanya terlihat cekung. Anak bernama Doni itu memang sering sakit-sakitan. Dua minggu yang lalu, ia terserang diare. Dalam sehari, ia muntah-muntah hingga belasan kali. Tubuhnya yang kurus tampak semakin kurus karena cairan tubuhnya terkuras habis. Kata Mbak Pur, tetangga saya yang lain, ibunya kurang bisa menjaga kebersihan, sehingga anaknya sering sakit. Penjelasannya ini ada benarnya juga, bila menengok rumah di mana mereka tinggal. Keluarga pak Wasiyo, nama Bapak Doni yang bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan Rp 12.000/ hari, masih menumpang pada keluarga neneknya. Rumahnya berlantai tanah, berdinding bambu yang sudah mulai berlubang, dan bergandengan dengan kandang kambing, harta yang tampak menonjol ditengah gubuk yang mulai reyot itu. Bila malam, bisa dibayangkan angin malam yang dingin terasa menusuk tulang, dan bercampur dengan bau kotoran kambing. Sebuah simbiosis yang sempurna untuk pembiakan penyakit seperti diare, TBC dan juga influenza.

Tapi, Doni dan keluarganya tidak sendirian. Di dusun kami, ada banyak Doni yang lain dengan nasib yang serupa. Sebut misalnya, Dwi yang berumur sebaya dengan Doni, dengan berat badan 0,5 kilo lebih berat namun dengan problem yang sama : pilek tanpa berkesudahan. Atau anak bungu Pak Slamet (yang belum saya hapal namanya), terserang batuk kering dalam usia 2 bulan. Juga ada Ulfa, Bowo, Shinta dan beberapa balita yang lain, yang meramaikan acara penimbangan bayi di posyandu dengan batuk, leleran ingus dan sambil makan bubur kacang ijo yang hanya tampak satu dua kacangnya. Karenanya, jangan heran bila di acara posyandu bulanan setiap tanggal 13, anak saya yang berumur 2,5 tahun dengan berat badan 12 kilogram tampak terlihat gemuk.

Potret buram ini adalah sebagian kecil dari denyut kehidupan sebuah kampung bernama Dolo yang terletak di Sleman bagian Timur. Terletak di tepi jalan aspal, tidak banyak yang menduga pahitnya kehidupan perempuan dan anak di dusun yang hanya berjarak 3 km dari lokasi pembangunan stadion megah yang menyerap dana miliaran rupiah dari anggaran daerah. Juga tidak bila mengingat pertumbuhan kawasan ini untuk pembangunan properti kelas menengah ke atas yang menurut berita di koran, memang disengaja oleh Pemerintah Daerah untuk mendongkrak pertumbuhan dan pembangunan.