Mengelola Sumber Daya Secara Partisipatif, Transparan dan Akuntabel

Rangkaian diskusi lokakarya nasional greget Desa 2017 kembali dilanjut, Rabu, (09/17). Setelah sebelumnya digelar diskusi sesi I dengan tema  “Tata Kelola Data Kemiskinan”, kali ini, tepat pukul 13.30 dilaksanakan diskusi sesi II dengan tema “Mengelola Sumber Daya Secara Partisipatif, Transparan dan Akuntabel. Bertempat di ruangan Radyo Suyoso, komplek kantor gubernur Daerah Istimewa Yogyakarata, diskusi kali ini diikuti oleh 200an peserta, perwakilan dari beberapa perangkat desa, NGO, pemerintah daerah hingga kementrian.

Diskusi tersebut dihadiri oleh empat pembicara, diantaranya kepala desa Dlingo, Bahrun Wardoyo, Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Bito Wikantosa, Open Data LAB Jakarta, Aditya, serta kantor staf presiden Deputi I, Monita. Meski membahas topic yang sama, keempat pembicara tersebut menyampaikan dengan fokus kajian yang berbeda-beda.

Fachrul Sahmega yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut memberi kesempatan pertama penyampaian materi kepada Bahrun Wardoyo. Ada beberapa point pokok yang disampaikan oleh kepala desa Dlingo tersebut terkait pengelolaan desa yang akuntabel. Bahrun mengatakan bahwa Undang-Undang Desa telah memberikan legalitas yang kuat terhadap keberadaan Desa di Indonesia. Karenanya sebelum mewujudkan akuntabilitas desa, menurut Bahrun, ada beberapa hal yang harus disadari oleh pengelola desa, khususnya terkait potensi desa.

“Seorang kepala desa itu punya kekuasaan dan kewenangan kewilayahan, kependudukan yang harus tunduk dan patuh pada aturan desa desa, serta potensi aset dan anggaran yang dimiliki desa,” Kata Bahrun.

Kesadaran itu yang nampaknya diterapkan Bahhrun di desa Dlingo. Seperti diketahui, Desa Dlingo merupakan desa yang beberapa tahun terakhir mendapat banyak penghargaan, khususnya terkait tata kelola desa yang akuntabel. Terletak di kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, desa tersebut memiliki julukan Dlingo Giriloji. Menurut Bachrun, jargon tersebut berdasarkan konsep tata kelola yang ia terapkan di desa Dlingo.

“Desa Dlingo, dengan konsep Dlingo Giriloji. Giri gunung, loji, rumah bagus. Kami membangun smart culture village. Tahapan-tahapan sudah dapat mitra dari teman NGO bagaimana akuntabilitas yang  harus kami bangun. Kombinasi kebudayan dengan teknologi. Terukur bisa diwujdukan dan punya jangka waktu. smart itu alon-alon waton kelakon. Syarat jadi kelakon hanya 1 ada yang dilakoni, ada visinya. Tercapai kalau ada yang mau dicapai.  Waton itu aturan. Ketika mau melakukan sesuatu harus aturan-aturan dan tahapan-tahapan. Alon-alon itu cermat dan penuh perhitungan,” tutur Bahrun.

Bachrun menambahkan, bahwa dirinya juga membangun paradigma baru terhadap para perangkat (pamong) desa. Hal itu ia lakukan untuk menciptakan etos dan emosional dalam mengelola desa. “Kita bangun dengan merubah paradigm buat pamong. Kita coba untuk membagun yang dulu kami disebut orang Dlingo. Dengan konsep itu mengelola desa hanya satu yang  dibutuhkan, yakni kebanggaan. Kita sebagai orang desa. harus ada sesuatu yang  dibanggakan di desa kita,” katanya.

Mengelola desa, jelas Bachrun, tidak boleh menyerah dengan keterbatasan. Justru, keterbatasan tersebut harus menjadi motivasi untuk terus meningkatkan kualitas pengelolaan desa. Baginya desa yang terbatas sekalipun tetap memiliki potensi jika digali.

“Kita  tidak boleh menyerah dengan keterbatasn kita, SDM rendah, jauh dari perkotaan, itu jadi semagat kami. Daya lenting lebih tinggi. Ketika kita melakukan sesuatu diluar kelaziman jadi luar biasa. Apapun kondisi desa kita, harus terus kita  gali potensinya, harus ada yang  kita buat untuk  kebanggaan kita. Otak di kepala desa harus I love the problem. Maindset otak kita  solutif, membuktikan Negara hadir di desa,” Tegasnya.

Perencanaan Penganggaran untuk Peningkatan Kesejahteraan Warga Desa

Selanjutnya, Bito Wikantosa, yang mewakili kementrian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal menyampaikan beberapa point pokok terkait Perencanaan Penganggaran untuk Peningkatan Kesejahteraan Warga Desa. Menurut Bito, realisasi anggaran desa yang sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur  tidak selalu berdampak terhadap kesejahteraan warga.

“Jenis sarana desa, tidak selalu berdampak pada penurunan kemiskinan. Pilihan yang  lebih berdampak pada peningkatan kesejahteraan desa lebih rendah. System perencanaan dan pengganggaran  bagi warga desa. siapa yang akan menentukan bahwa penaggaran itu mensejahterakan rakyat,” Kata Bito.

Dalam membangun desa, lanjut Bito, ialah harus memperhatikan aspek-aspek prinsipil seperti tata kelola yang demokratis dan berkeadilan sosial. Menurutnya, desa punya hak karena asal usulnya. Dia punya hukum adat, benda adat. Hak ini yang  mengurus desa.  Desa punya kesanggupan untuk  membangun mandat UU desa. Tak kalah pentingnya, menurut Bito, ialah perlunya keterbukaan informasi dan data didalam perencaanan pembangunan desa. Secara teknokratsi harus dirumuskan, sebab kerja pemerintah dan kerja-kerja teknokrasi adalah ketepaduan, satu desa satu perencanaan.

Bito juga mengingatkan soal pentingnya pembagunan desa terpadu berbasis asset. Hal itu dilakukan untuk memberdayakan segala bentuk aset desa yang potensial untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat. ”Orientasinya belanja anggaran, potensi asset desa yang bisa digunakan untuk pemberdayaan desa. Perencaan didesa tidak hanya berhenti didesa, menggunakan kawasan pembangunan, ada integrasi dengan kabupaten kota,” katanya.

Sementara terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di Desa, Bito menegaskan untuk dikaji secara obyektif. Bukan tanpa alasan, sebab pembangunan yang dilakukan di Desa, lanjut Bito, harus memiliki arah dan orientasi yang jelas dan terukur.

“Sekarang harus sangat obyektif, karena menyangkut anggaran yang  dikelola sendiri. Pengkajian keadaan desa, system data, usulan masyarakat harus digali,  dan pemetaan asset.  Desa mau dibawa kemana, kalau perencaaan desa tidak punya arah,” kata Bito.

Data Terbuka sebagai Instrumen Akuntabilitas Publik

Untuk mewujudkan akuntabilitas pengelolaan desa, diperlukan pemahaman  yang komprehensif terkait tata kelola data. Point itulah setidaknya yang menjadi perhatian Aditya, pembicara ketiga yang berasal dari open data, LAB Jakarta. Aditya memberikan pemahaman mendasar terkait prinsip data terbuka. Menurutnya, ini penting diketahui sebagai bekal pemahaman saat mengelola data.

“Prinsip data terbuka itu setidaknya memenuhi  kriteria seperti ketentuan standar sudah dipbulkasikan, tepat waktu dan komprehensif, dapat diakses mudah, dibandingkan dengan mudah dan saling menyambung, tujuan yang  ingin dicapai peningkatan pemerintah, serta Inovasi dan Pembangunan yang lebih inklusif,” tutur Aditya.

Soal kegunaan, Aditya memberi pemahaman bahwa manfaat open data itu sangat banyak, diantaranya ialah seperti  meningkatkan transprasi dan akuntanbilitas pemerintah, Menciptakan peluang ekonomi baru, meningkatkan efisiensi dan pelayana publik, meningkatkan efektivitas perencaan pembangunan pemerintah, serta meningkatkan partisiapsi publk dalam proses pengambilan keputusan.

Lapor Sebagai Media Pengawas Warga

Sementara itu, untuk materi terakhir, diskusi ini secara khusus menjelaskan fungsi ‘Lapor’ sebagai media yang dapat digunakan warga untuk mengawasi kinerja pelayanan publik. Penjelasan ini dipandu langsung oleh Monita selaku Deputi I kantor staf presiden.

“Sudah pernah ada mendengar tentang lapor. Lapor adalah system pengaduan masyarakat. Baik terkait layanan publik seperti jalan rusak, BPJS, bahkan hingga perselingkuhan pns. Ada turunan nawacita nomer 1 dan 2. Disini lapor berperan sebagai mata dan tangan pak jokowi,” Kata Monita. 

Pengaduan yang sedikit, kata monita bukan berarti pelayanan publik sudah baik, hal itu bisa jadi sebab minimnya pengetahuan masyarakat tentang media dan system pelaporannya. 

 “Ada mitos, sedikit pengaduan, pelayanan publik sudah baik? tidak setuju. Apakah pengaduan tuntas atau tidak. Mengelola pengaduan, menambah beban pekerjaan? Tidak. Pengelolaan pengaduan hanya menjadi APIP? Tidak. Pengaduan dapat mejadi ajang fitnah dan debat kusir? Tidak. Kalau tidak ada laporan kita harus cari sumber apinya,” Tegas Monita. [AH]