Struktur Anggarana Kebencanaan: Isu Baru Advokasi Anggaran

Penyusun: Rinto Andriono, Direktur Institute for Development and Economic Analysis (IDEA)

Terestimasikan bahwa 83% wilayah Indonesia adalah daerah dengan risiko bencana yang tinggi. Indonesia terletak pada persimpangan empat lempeng tektonik sehingga beresiko tinggi terhadap gempa bumi dan tsunami. Sejumlah 383 kabupaten dari 440 kabupaten di Indonesia adalah kawasan dengan resiko bencana yang cukup tinggi. Dan, buruknya, 98% dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia adalah penduduk yang belum memiliki kesadaran tentang pengurangan resiko bencana. Bencana yang sama memiliki dampak yang berbeda pada orang-orang yang berbeda. Pada umumnya, kaum yang lemahlah yang merasakan penderitaan paling berat dari bencana. Mereka adalah anak-anak, manula, perempuan, difabel, orang miskin dan mereka yang dimarginalkan oleh politik, agama dan atau budaya.

Tingginya angka kemiskinan di mengakibatkan tingginya resiko bencana di Indonesia dan dari 224.177 juta jiwa populasi penduduk Indonesia, terdapat 15% yang masih dibawah garis kemiskinan dimana garis kemiskinan ditandai dengan kemampuan konsumsi dibawah Rp 166.697,00 per kapita per bulan dan akses terhadap layanan dasar yang tidak terpenuhi. Dengan garis kemiskinan diatas, kira-kira terdapat 34 juta keluarga di Indonesia hidup dalam kondisi rentan terhadap bencana karena kemiskinan.

A. Kebijakan Anggaran Kebencanaan di Daerah

“Setiap $1 belanja publik untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dapat menyelamatkan $7 dari kerusakan akibat bencana”, United States Geological Survey (USGS).

“Setiap $1 dana publik yang dibelanjakan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana akan menyelamatkan dana sebesar $2 untuk emergency response”, The Federal Emergency Management Agency.

Kebijakan anggaran memiliki fungsi-fungsi yaitu alokasi sumber-sumber daya publik, stabilisasi bila terjadi krisis, re-distribusi kesejahteraan untuk mengurangi kesenjangan, kontrol untuk melindungi hak-hak warga, politik untuk mensegregasi kepentingan-kepentingan stakeholder di wilayah public dan fungsi pengelolaan dan pengawasan bagi birokrasi. Bila fungsi-fungsi di atas dapat berjalan secara optimal, kebijakan APBD akan mampu berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana (selanjutnya disingkat PRB) di daerah.

Namun fakta-fakta menunjukkan bahwa kebijakan APBD tidak dalam kapasitas yang memadai untuk menjalankan fungsinya sehingga pengurangan resiko bencana tidak terkelola dengan baik di daerah. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemungutan retribusi pemerintah daerah dapat berperan dalam mengurangi kerentanan. Sebagai contoh adalah kebijakan retribusi Ijin Mendirikan Bangunan, Retribusi Galian C atau Retribusi Ijin Usaha. Retribusi-retribusi ini bila dijalankan dengan orientasi pengurangan resiko bencana yang tegas akan dapat berkontribusi dalam mengurangi kerentanan. Dengan mekanisme retribusi IMB, pemerintah dapat menegakkan building code sehingga rumah-rumah dan fasilitas umum yang dibangun dapat mengurangi resiko jatuhnya korban bila terjadi bencana. Melalui mekanisme retribudi galian C, pemerintah daerah dapat meregulasi eksplorasi Daerah Aliran Sungai yang aman bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan retribusi ijin usaha, seharusnya pemerintah dapat melindungi warga dari ancaman degradasi lingkungan karena pencemaran atau karena bencana-bencana yang disebabkan oleh industri. Sayangnya, dalam prakteknya sekarang, pajak dan retribusi tersebut hanya dipandang sebagai income-generating untuk menyumbang Pendapatan Asli Daerah saja. Selain aspek pendapatan, kebijakan Anggaran Daerah memiliki aspek belanja dan pembiayaan. Pada sisi belanja, kebijakan anggaran dapat mengalokasikan belanja-belanja publik yang dapat mengurangi ancaman dan meningkatkan kapasitas warga terhadap bencana.

Pengalaman warga korban bencana tanah longsor 2008 di Karanganyar menunjukkan bahwa warga di daerah rawan bencana tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk hidup berdampingan dengan ancaman. Tanda-tanda yang ditangkap oleh warga yang muncul sebelum bencana terjadi seharusnya dapat menyelamatkan warga dari kerugian jiwa yang lebih besar. Sayangnya, serangkaian peristiwa seperti hujan berkepanjangan, longsor-longsor kecil dan bukit yang mengeluarkan air keruh tidak dipahami warga sebagai pertanda bahwa mereka harus mengungsi. Dengan menilik UU Penanggulangan Bencana nomor 24 tahun 2007 bahwa masyarakat berhak mendapatkan informasi dan ketrampilan terkait penanggulangan bencana, dapat disimpulkan bahwa pemerintah abai untuk mengalokasikan anggaran yang memadai bagi peningkatkan pemahaman warga terhadap resiko bencana.

Kebijakan belanja anggaran pembangunan fisik untuk fasilitas-fasilitas umum seharusnya cukup aman untuk dapat menjadi shelter bagi warga ketika terjadi bencana. Namun pengalaman gempa bumi di Indonesia menunjukkan bahwa fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas tidak cukup dapat menjadi tempat perlindungan yang aman bagi warga saat terjadi bencana. Alokasi belanja anggaran untuk PRB di daerah-daerah rawan bencana lebih banyak terpusat pada pengurangan ancaman, yang berarti lebih alokasi belanjanya lebih banyak untuk pembangunan sarana-sarana fisik seperti tanggul, dam, sabo dan lain sebagainya. Sementara variable resiko bencana lainnya seperti kerentanan justru dibiarkan. Bahkan beberapa proyek pembangunan justru menambah kerentanan warga.

Contohnya adalah pembangunan jembatan di Kulonprogo yang berimplikasi pada berubahnya pola aliran sungai sehingga berdampak pada kekeringan saluran irigasi. Atau proyek semenisasi telaga di Gunung Kidul yang berdampak mengeringnya telaga yang lebih cepat di saat musim kemarau.

Aspek kapasitas warga adalah aspek yang selalu terlupakan dalam kebijakan belanja Anggaran Daerah. Pemerintah daerah hampir tidak memiliki program yang memadai untuk meningkatkan kapasitas warga terhadap bencana. Aspek kapasitas ini meliputi kelembagaan social yang kuat, pemahaman yang memadai untuk PRB serta modal-modal social lain yang dapat terkelola dengan baik melalui program-program pemerintah yang menguatkannya. Contoh konflik-konflik horizontal pada saat pelaksanaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi rumah paska gempa di Bantul dan paska tsunami di Aceh menunjukkan bahwa program pemulihan paska bencana bisa menimbulkan dua dampak sekaligus. Yaitu berkurangnya kerentanan karena meningkatnya daya tahan rumah terhadap gempa maupun berkurangnya kapasitas warga karena konflik horizontal.

Tabel 1. Kebijakan Penganggaran yang Berkontribusi pada Peningkatan Resiko Bencana

B. Pengurangan Resiko Bencana dan Politik Anggaran

Dana publik dalam APBD adalah sumber daya publik yang terbatas jumlahnya. Keterbatasan ini menimbulkan kelangkaan sehingga dibutuhkan power (kuasa) untuk mengaksesnya. Sistem dan kebijakan penganggaran daerah di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No. 25 tahun 2003 dan Undang-Undang No. 17 tahun 2001. Dalam sistem ini diakui ada empat pendekatan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Keempat pendekatan itu adalah pendekatan politik, pendekatan birokrasi, pendekatan teknokratis dan pendekatan partisipatif

Pendekatan politik diwakili oleh mekanisme pemilihan kepala daerah dan DPRD yang langsung. Dalam pendekatan ini, kepala daerah dan DPRD memiliki kewenangan yang kuat menentukan arah kebijakan anggaran. Pendekatan birokrasi atau pendekatan top-down dan bottom-up terwujud dalam keharusan pemerintah daerah mengacu pada kebijakan pemerintah pusat. Sebagaimana SKPD harus mengacu pada kebijakan bupati sebagai kepala daerah. Pendekatan teknokratis diwakili oleh kewenangan BAPPEDA untuk menyusun kebijakan perencanaan pembangunan daerah. Atau juga nampak dalam kewenangan SKPD untuk menyusun Rencana Strategis SKPD. Terakhir adalah pendekatan partisipatoris yang diwakili oleh keberadaan musrenbang dari desa hingga kabupaten.

Pada prakteknya, keempat pendekatan ini sering saling meniadakan. Dan, dengan tingkat kuasa yang berbeda maka akses dan kontrol masing-masing aktor dari keempat pendekatan terhadap sumber-sumber dana publik dalam APBD pun berbeda. Pendekatan partisipatif biasanya menjadi pendekatan yang paling terpinggirkan dalam menentukan arah kebijakan APBD. Mengingat setiap resiko bencana terdistribusikan secara berbeda di dalam masyarakat. Dimana kerentanan sebagai sebuah konsep yang kompleks, dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya publik. Perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya publik turut membentuk ketahanan warga terhadap bencana.

Ketika setiap resiko bencana terdistribusikan secara berbeda di dalam masyarakat dan kerentanan merupakan sebuah konsep yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak factor, salah satunya adalah akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya publik. Perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya publik ini turut membentuk ketahanan sebelum terjadi bencana dan paska bencana.

Perempuan, manula, masyarakat adat, anak-anak dan gender minoritas lainnya adalah bagian dari masyarakat yang memiliki akses dan kontrol terlemah terhadap sumber-sumber daya publik, sehingga kerentanannya terhadap bencana pun tinggi. Minus partisipasi gender minoritas dalam kebijakan penganggaran akan mengakibatkan kebijakan pemungutan dan belanja publik justru menambah kerentanan kaum lemah terhadap bencana.

C. Kebijakan Penganggaran dan Pengurangan Resiko Bencana

     a. Kerangka Ideal Pengarusutamaan PRB dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran

UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah disahkan. Peraturan-peraturan baru sebagai turunan UU ini pun sudah mulai disiapkan. UU Penanggulangan bencana ini merupakan adopsi dari Hyogo Framework of Action sebuah konsensus internasional tentang strategi penanggulangan bencana. Sebagai sebuah konsensus internasional, Hyogo Framework of Action adalah universal dan layak diadopsi oleh semua negara. Namun kelemahannya adalah bersifat top-down dan akan membutuhkan banyak penyesuaian untuk implementasinya. Salah satu tantangannya adalah bagaimana membangun sinergisitas dengan sistem dan kebijakan penganggaran di Indonesia.

Sinergisitas UU No. 24 tahun 2007 dengan sistem dan kebijakan penganggaran di Indonesia sangatlah penting. Terutama untuk menjamin adanya pengarusutamaan PRB dalam kebijakan penganggaran di Indonesia dan juga untuk menjamin kelengkapan Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB) dapat terdanai dengan baik oleh anggaran publik di daerah. Secara ideal, sinergisitas UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional akan nampak pada bagan di atas. Sedangkan pada bagan di bawah ini adalah format ideal sinergisitas PRB dalam urusan wajib dan urusan pilihan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Bagan 3. Rencana Kerja dan Pendanaan

     b. Perencanaan Pembangunan dan PRB

Kerangka ideal di atas masih sulit diimplementasikan karena masih banyak sekali ketidakcocokan antar-peraturan penanggulangan bencana dan perencanaan pembangunan serta penganggaran. Selain ada ketidak-cocokan aturan antar produk-produk hukum kebencanaan, perencanaan pembangunan dan penganggaran, aturan-aturan turunan dari UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga belum lengkap diterbitkan. Matriks di bawah ini menunjukkan gambaran konflik antar dokumen-dokumen legal ini.

Tabel 2. Dokumen Legal Penanggulangan Bencana Versus Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran

Berdasarkan pasal 9 UU No. 24 tahun 2007, wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya yang selaras dengan kebijakan pembangunan daerah. Penetapan kebijakan ini juga meliputi pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukan unsur-unsur penanggulangan bencana. Namun masalahnya adalah sebagian besar daerah belum memiliki kesadaran yang memadai untuk mengarusutamakan pengurangan resiko bencana dalam kebijakan perencanaan pembangunannya. Sementara itu, sebagai rujukan dalam mengarusutamakan PRB, pemerintah daerah memerlukan peta resiko bencana yang terdiri dari peta ancaman, peta kerentanan dan peta kapasitas. Hasil amatan menunjukan bahwa sangat sedikit daerah yang memiliki peta yang memadai.

Beberapa daerah bencana dengan technical assistance dari NGO international telah merumuskan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana (RAD-PRB), namun rencana tersebut memiliki perbedaan dengan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 21 tahun 2008 tentang Pengelolaan Bencana. Laporan dari daerah-daerah itu juga menyatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) belum cukup terinspirasi oleh RAD-PRB. Alasannya adalah karena RAD-PRB tidak memiliki legalitas yang memadai untuk dirujuk meskipun dokumen ini sah dan memadai sebagai dokumen rencana multi stakeholder daerah untuk PRB.

     c. Penganggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dan PRB

Pengurangan resiko bencana juga belum menjadi arus utama atau mainstream dalam penganggaran di tingkat Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Artinya, kebijakan pendapatan dan belanja SKPD yang bertangung jawab pada urusan-urusan sektoral tertentu belum memiliki nuansa PRB. Selain disebabkan oleh tingkat pemahaman tentang PRB yang belum memadai, salah satu faktor utama adalah karena orientasi strategis dari dari kebijakan program SKPD belum sensitif PRB. SKPD-SKPD menganggap bahwa urusan PRB adalah urusan SKPD khusus untuk kedaruratan seperti Satpol PP atau Kesbanglinmas.

Sementara itu, secara spesifik, urusan PRB tidak terakomodasi secara memadai dalam PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan dan PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Aturan-aturan ini tidak memasukan secara khusus urusan PRB sebagai salah satu urusan wajib daerah. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah kesulitan untuk menjalankan amanat UU No. 24 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang akan menjadi badan yang secara spesifik mengampu urusan kebencanaan di daerah. Pendek kata, Pengurangan Resiko Bencana tidak ada dalam urusan wajib pemerintah daerah dan BPBD tidak dikenal dalam organisasi perangkat daerah.

PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana mengamanatkan jenis dan sumber pendanaan penanggulangan bencana di Indonesia. Peraturan ini mendefinisikan dana penanggulangan bencana sebagai dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap pra bencana, tanggap darurat dan atau pasca bencana. Dana penanggulangan bencana pada tahap pra bencana dialokasikan untuk kegiatan dalam situasi tidak terjadi bencana dan terdapat potensi terjadinya bencana. Sementara itu, dana penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.

(klik untuk memperbesar)

Skema pendanaan di atas memiliki masalah tersendiri untuk tiap-tiap fase kebencanaan. Pada fase tiada bencana, dana kontinjensi yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan bencana tertentu yang disediakan untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap pra bencana akan memiliki masalah akuntabilitas yang tinggi bila skema pengelolaannya mirip dana kontinjensi. Dana ini merupakan dana pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui mekanisme tugas pembantuan sehingga pengawasan dan pertangungjawaban dana ini langsung kepada pemerintah pusat. Dengan intensitas pengawasan yang rendah dan volume dana yang tidak terlalu besar bagi pemerintah pusat maka dana ini tidak akan mendapatkan perhatian yang memadai dalam pengawasan. Problem-problem ketidakcocokan proyek dana kontinjensi dengan kebutuhan warga juga akan muncul karena mekanisme partisipasi dalam pelaksanaan program ini terkendala oleh jenjang struktur dan jarak yang signifikan.

Pada fase respon kedaruratan, dana siap pakai memiliki masalah berupa ketiadaan nomenklatur anggaran pembelanjaan dana ini. Ketiadaan nomenklatur ini membuat dana siap pakai hanya bisa dikeluarkan melalui rekening belanja tak terduga yang mana sifat rekening ini adalah akuntabilitasnya rendah karena pengadaan barang dan jasanya tanpa melalui tender sesuai Prepres No. 80 tahun 2003. Pencairan dana untuk rekening dana tak terduga pun akan makan waktu lama karena BPBD harus meminta ijin pencairan ke Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah dan kemudian Kepala Daerah harus mendapatkan ijin dari DPRD untuk mencairkan dana ini. Masalah lain dari dana ini adalah ketidakmampuannya untuk steril dari vested-interest penguasa daerah.

D. Paradigma Pengurangan Risiko Bencana

Studi tentang bencana, ditunjukkan oleh hadirnya dua paradigma utama, yaitu paradigma perilaku (behavioral paradigm) dan paradigma struktural . Paradigma pertama mendominasi studi bencana pada era 1950-an yang dicirikan oleh pendekatan teknokratis yang antara lain nampak dalam disiplin ilmu geologi, morfologi dan seismologi yang mengunggulkan monitoring dan prediksi bahaya. Paradigma hazard-centred ini menyatu dalam wacana kapitalis modern, yang nampak dari cara pandang bahwa alam adalah bagian terpisah dari manusia dan merupakan komoditi yang bisa dikelola dengan pendekatan pengetahuan dan administrasi modern. Karena bencana banyak terjadi di negara berkembang, maka bencana dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang tidak modern yang berujung pada kerentanan dan bahaya. Pendekatan ini juga sejalan dan bergandengan dengan penanganan bencana melalui organisasi dan pendekatan militeristik.

Selain paradigma perilaku di atas, studi tentang bencana juga diwarnai dengan paradigma struktural yang muncul menjelang era 1980-an, dimana kajian antropologi, sosiologi dan geografi menyajikan tantangan terhadap pendekatan hazard-centred yang sangat teknokratis ini. Tantangan ini nampak dalam paper yang dibuat oleh Kenneth Hewitt pada tahun 1983. Dalam papernya yang radikal dengan judul “Interpretations of the Calamity from the Viewpoint of Human Ecology”, ia memaparkan bahwa bencana bukan hanya dihasilkan oleh proses geomorfologi saja. Terutama di negara sedang berkembang, faktor struktural seperti meningkatnya kemiskinan, jeratan utang hingga ke persoalan perubahan sosial, mempengaruhi kerentanan manusia dan masyarakat terhadap bencana. Pengantar terhadap kerentanan sosial menjadi jantung dari pemahaman akan bencana. Inilah yang kemudian memunculkan pemahaman akan keterkaitan antara bahaya dan kerentananan, yang kemudian muncul dalam formula yang sangat terkenal saat ini, yaitu Risiko = Bahaya + Kerentanan .

Seiring dengan hadirnya paradigma baru ini, beberapa perspektif baru juga menjadi bagian dari kajian dan juga kerja tentang bencana. Salah satunya adalah mengkaji dimensi gender dalam bencana dan sekaligus juga bagaimana integrasi perspektif ini dalam kerja pengelolaan bencana. Kehidupan perempuan, seperti halnya laki-laki, diwarnai baik oleh relasi gender dalam konteks budaya tertentu, maupun oleh banyak hal, mulai dari umur, kapasitas fisik, etnik, ras, kondisi dan status ekonomi, dan banyak hal yang lain. Studi bencana dengan menggunakan perspektif gender menegaskan bahwa perempuan cenderung menjadi lebih rentan, karena ketidakdilan gender memang ada di mana-mana. Kehidupan keseharian perempuan bisa meningkatkan keterpaparan dalam semua bentuk terhadap kondisi yang tidak aman dan kejadian bahaya. Perempuan juga cenderung memiliki kuasa yang lebih kecil dalam pengambilan keputusan di level keluarga, sebagaimana mereka juga relatif tidak terepresentasikan dalam pengambilan keputusan politik di tingkat publik. Ketika suara mereka tidak didengar, kebutuhan mereka dalam jangka menengah atau jangka panjang menjadi tidak diperhatikan. Beberapa kecenderungan perubahan di tingkat masyarakat juga mempengaruhi perempuan, seperti bisa dicontohkan dalam kebijakan negara untuk privatisasi layanan publik, dan meningkatnya angka kemiskinan yang berarti juga meningkatkan jumlah perempuan yang menjadi miskin, dan juga menjadi lebih rentan terhadap bencana .

Namun, dalam studi penelusuran perspektif gender dalam bencana, Enarson dan Meyreles mengatakan, bahwa di seluruh dunia, baik pada tataran paradigma dan teori, metodologi, dan juga pemilihan populasi dalam studi bencana, cara pandang yang dipakai didominasi oleh cara pandang laki-laki. Perubahan cara pandang dengan menjadikan analisa gender sebagai pijakan, mulai nampak dalam studi bencana dalam dua dasawarsa terakhir. Pada awalnya, studi ini antara lain diwarnai oleh isu perbedaan sosial dan kesehatan, dan tanggung-jawab perempuan dan korelasinya bagi tingginya angka kematian perempuan dalam bencana. Dalam deretan ini, juga nampak kajian terhadap hambatan budaya yang menghalangi akses perempuan pada bantuan dalam masyarakat patriarkhis seperti ditunjukkan oleh pengalaman Asia Selatan, hingga pengalaman pekerja sosial perempuan dalam lingkungan yang bias gender di Amerika Serikat.

Dalam penelusurannya, Enarson & Meyreles juga menunjukkan bahwa studi tentang gender dan bencana memandang gender sebagai konstruk sosial, menekankan perbedaan kuasa diantara laki-laki dan perempuan, serta merefleksikan pendekatan kerentanan sosial dalam mengkaji bencana. Tetapi sayangnya, beberapa studi ini gagal dalam membuat analisa yang sistematis dalam mengkaji keterkaitan antara gender dengan kelas, kasta, ras, etnis, umur dan kemampuan fisik .

E. Pengurangan Risiko Bencana dan Pembangunan

Dalam salah satu policy brief DFID yang berjudul “Disaster Risk Reduction : A Development Concern”, terungkap pandangan bahwa dalam skala yang besar, bencana adalah hasil dari kegagalan pembangunan yang meningkatkan kerentanan terhadap bahaya. Kegagalan dari pembangunan dapat dijumpai dalam semua level, mulai dari tingkat lokal dan nasional, hingga institusi di tingkat global yang sangat dipengaruhi oleh negara-negara adidaya. Dalam policy brief tersebut, terurai bahwa proses pembangunan bisa meningkatkan keterpaparan terhadap bahaya. Pertumbuhan kawasan urban yang sangat cepat dan tidak terkelola dengan baik misalnya, bisa memicu tingginya kerentanan terhadap bahaya seperti banjir dan juga gempa bumi. Kemiskinan yang akut di kawasan urban membuat banyak keluarga tidak bisa membangun rumah yang aman terhadap bahaya karena keterdesakan ekonomi dan lemahnya daya dukung lingkungan. Kemiskinan dan keterpinggiran dalam proses kebijakan juga meningkatkan kerentanan karena banyak kebijakan tidak memperhitungkan kondisi dan kebutuhan orang miskin. Dalam situasi yang sama, lemahnya skema proteksi sosial dari negara di satu sisi, serta menurunnya mekanisme pengaman informal di sisi yang lain, membuat kerentanan menjadi semakin meningkat. Inilah potret-potret kegagalan pembangunan yang berkorelasi dengan peningkatan keterpaparan terhadap bahaya .

Bencana adalah dampak dari potensi ancaman yang menjadi nyata dan menimpa masyarakat sehingga muncul kematian, kerusakan dan kerugian jiwa maupun harta. Dampak dari bencana ditentukan oleh tingkat kerentanan yang dimiliki masyarakat terhadap ancaman bencana itu sendiri. Kerentanan adalah dimensi manusia dari bencana. Untuk memahami aspek-aspek yang membuat masyarakat rentan terhadap bencana, seseorang harus melihat aspek ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, politik bahkan faktor-faktor psikologis yang membentuk kehidupan masyarakat dan menyusun lingkungan dimana masyarakat berada. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan oleh John Twigg, kerentanan adalah socially constructed .

Oleh karena itu, bencana yang sama memiliki dampak yang berbeda pada orang-orang yang berbeda. Penelitian-penelitian yang sudah menyebutkan bahwa pada umumnya, kaum yang lemahlah yang merasakan penderitaan paling berat dari bencana. Mereka adalah anak-anak, manula, perempuan, difabel, orang miskin dan mereka yang dimarginalkan oleh politik, suku, ras atau kasta.

Sekelompok masyarakat dapat memiliki kerentanan bencana yang tinggi. Tapi mengapa mereka bisa begitu? Bisa jadi karena pemiskinan dan proses demografi seperti pertumbuhan populasi, urbanisasi dan migrasi. Atau karena masalah ekonomi, hukum dan politik yang menghilangkan hak seseorang atas tanah. Atau sebab kegagalan penegakan aturan untuk melindungi daerah-daerah konservasi. Yang jelas, ini terjadi karena negara dan institusi masyarakat sipil gagal dalam melindungi masyarakat. Sedemikian tingginya keterkaitan antara pembangunan dan kerawanan di dunia ketiga sehingga bencana sering disebut sebagai ‘unsolved problem of development’ atau bahkan secara lebih tajam, bencana disebut sebagai ‘development failure’. Diagram berikut ini menunjukkan bahwa bencana tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan.

Bagan 4. Pembangunan dan Risiko Bencana

(klik untuk memperbesar)

Kebijakan penganggaran adalah kebijakan yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan di negara berkembang. Kebijakan penganggaran yang memiliki fungsi alokasi sekaligus fungsi politis turut membentuk distribusi sumber-sumber daya publik di daerah yang dapat memiliki dua dampak sekaligus bagi warga, yaitu dampak insenstif dan dis-insentif bagi warga dengan kapasitas politik yang berbeda-beda. Intervensi kebijakan penganggaran, terutama di daerah-daerah pasca otonomi daerah di Indonesia, turut membentuk kerentanan dan kapasitas warga terhadap bencana karena seperti terpapar pada model diatas, kebijakan pembangunan tidak dapat dilepaskan dari dampaknya terhadap resiko bencana.

F. Penutup

Advokasi anggaran hendaklah peka terhadap persoalan-persoalan komunitas warga. Advokasi anggaran sensitif pengurangan resiko bencana adalah bagian dari upaya meningkatkan sensitivitas itu. Hal ini dipicu oleh beberapa isu strategis yaitu tingginya resiko bencana di Indonesia, maraknya korupsi anggaran kebencanaan dan fakta bahwa proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh anggaran pun dapat meningkatkan resiko bencana.

Saat ini, pemerintah Republik Indonesia sudah mensahkan Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang ini telah diikuti dengan peraturan-peraturan turunannya. Namun masih menyisakan konflik kebijakan dengan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengangaran daerah. Fakta-fakta ini menimbulkan anggaran kebencanaan rawan korupsi dan rawan peningkatan resiko bencana karena kebijakan penganggaran yang tidak sensitif PRB.


(1) Keith Smith 1999, sebagaimana dikutip dalam Hilhorst, D, “Unlocking Disaster Paradigms : An Actor-oriented Focus on Disaster Response”, abstract submitted for session 3 of The Disaster Research and Social Crisis, Network Panels of the 6th European Sociological Conference, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-papers/session3/Hilhorst_III_Original.pdf

(2) Blaikie, et.al, 1993, sebagaimana dikutip dalam paper yang sama.

(3) Enarson, et.al, (2003), “Working with Women at Risk : Practical Guidelines for Assessing Local Disaster Risk”, International Hurricane Center, Florida International University, June, sebagaimana dimuat dalam http://www.gdnonline.org/resources/WorkingwithWomenEnglish.pdf

(4) Enarson, E & Meyreles, L, “International Perspectives on Gender and Disaster : Differences and Possibilities”, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-papers/session2/Enarson_Meyreles_II_Original.pdf

(5) Disaster Risk Reduction as Development Concern, DFID, Policy Brief, 2004, sebagaimana dimuat dalam http://www.dfid.gov.uk/pubs/files/disaster-risk-reduction.pdf

(6) John Twigg 2001, Physician, Heal Thyself? The Politics of Disaster Mitigation, Benfield Greig Hazard Research Center, University College London.

(7) John Twigg 2001, Physician, Heal Thyself? The Politics of Disaster Mitigation, Benfield Greig Hazard Research Center, University College London.