Dorong Transparansi dan Akuntabilitas Desa, IDEA Gagas DAP

Pelaksanaan Workshop Desa Akuntabilitas Publik di Rose Inn Hotel, Selasa (20/03)
Pelaksanaan Workshop Desa Akuntabilitas Publik di Rose Inn Hotel, Selasa (20/03)

Yogyakarta, IDEA – Dalam rangka mendapatkan gambaran tentang mekanisme pengelolaan Desa Akuntabilitas Publik (DAP), baik penyempurnaan Aplikasi, Pengelolaan Kelembagaan, Anggaran, serta Panduan Teknis Pengelolaan Desa, IDEA Yogyakarta bersama dengan Ford Foundation menggelar workshop DAP di Rose Inn Hotel, Yogyakarta, Selasa (20/03). Digelarnya workhsop ini juga untuk memperoleh catatan reflektif, pemahaman bersama, serta identifikasi kebutuhan implementasi terkait konsep DAP.

Direktur IDEA, Sunarja, saat memberi sambutan dalam workshop ini mengatakan bahwa sebelum melaksanakan DAP, desa terlebih dahulu harus memiliki standar keterbukaan informasi publik. Menurutnya, Kalau desa sudah memiliki standarnya, maka tinggal memanfaatkan segala system atau mekanisme untuk membuka segala informasi yang ada di desa.

“Bentuknya bisa disesuaikan dengan kondisi di masing-masing desa, bisa dengan menggunakan media, Sistem Informasi Desa, banner serta pamphlet,” kata Sunarja.

Menurut Sunarja, semakin banyaknya alokasi dana desa, justru tingkat kerawanannya juga akan tinggi. Kalau tidak hati-hati menurutnya akan menjadi kendala tercapainya sebuah desa yang akuntabel. Dirinya mencontohkan banyaknya kasus korupsi yang menjerat pemerintah desa sebab rendahnya pemahaman terhadap pentingnya transparansi dan akuntabilitas.

“Agar berjalan sesuai koridor, kebijakan yang dibuat, harus dibuka informasi yang terkait dengan perencanaan pembangunan hingga anggarannya. Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai, publik agar bisa memberikan masukan dan koreksi, sehingga kinerja semakin baik serta program menjadi tepat sasaran,” tuturnya.

Seperti diketahui, dalam catatan IDEA Yogyakarta, selama tiga tahun terakhir, implementasi Undang Undang Desa belum sepenuhnya optimal. Desentralisasi fiskal yang berbentuk Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), belum banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Alih – alih memberikan kesejahteraan bagi desa dan masyarakatnya, DD dan ADD justru menjadi “bancakan” korupsi. Kemandirian dan kesejahteraan desa sebagai tujuan dari UU Desa, kiranya perlu dikawal bersama antar para pemangku kepentingan, seperti  pemeritah pusat, pemerintah desa, pegiat desa, dan masyarakat melalui transparansi dan akuntabilitas publik. Transparansi dan akuntabilitas publik sendiri merupakan salah satu pilar dari pemerintahan yang baik (good governance), dan sudah seharusnya menjadi pilar penting dalam setiap jenjang pemerintahan di Indonesia.

Baca juga: Penyandang Disabilitas Berhak Terlibat Perencanaan dan Pembangunan Desa

Hernindya Wisnu Adjie, yang menjadi fasilitator workshop ini menyampaikan bahwa dalam kegiatan ini, IDEA mempertemukan dua desa terbaik pengembang SID. Yakni Desa Dlingo, Bantul, dan Sawaha Gunungkidul. Desa Dlingo sendiri memiliki website yang kunjungannya sudah lebih dari 3 juta. Sementara Desa Sawahan, merupakan satu-satunya desa yang web desanya sudah ada keragaman tematik mapsnya ( T- Maps ).

Sebagai sebuah gagasan/konsep, DAP mempunyai tiga prasyarat utama, yakni adanya transparansi para penyelenggara pemerintahan dalam menetapkan kebijakan publik dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai institusi, kemudian adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya, serta adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, berbiaya murah, dan pelayanan yang cepat.

Riski dari desa sawahan yang turut hadir dalam workshop ini menyampaikan beberapa hal terkait DAP. Menurutnya, penyelenggaran pemerintah desa Sawahan kaitannya dengan desa akuntabilitas publik, menyadarai bahwa kegiatan dan program akan berjaan baik kalau didukung oleh adanya partisipasi masyarakat. Riski menganggap, partisipasi masayarakat menjadi point utama keberhasilan program utama pemerintah.

“Agar masyarakat mau berpartisipasi, tentu membutuhkan informasi publik yang akurat, sehingga pemerintah desa wajib menyediakan informasi kepada masyarakat. Itu bisa disampaikan seoptimal mungkin lewat media konvesional, banner, hingga media digital seperti SID, Youtube, serta Medsos. Karena kita menyadari betul bahwa informasi akan membangkitkan partispasi,” ujar Riski.

Lebih lanjut, Riski juga mengungkapkan bahwa masyarakat butuh data yang akurat, sehingga di desa sawahan penyampaian informasi terkait kegiatan/program desa dilakukan se optimal mungkin.

“Salah satunya dengan tematik maps, kami mengoptimalakn data berbasis lokasi, sehingga pada saat perencanaan pembangunan lebih terarah dan programnya bisa berjalan sesuai harapan masyarakat,” katanya.

Menegaskan kata Riski, kepala desa Sawahan, Suprapto mengatakan bahwa dalam mewujudkan transparansi, dirinya dan seluruh perangkat desa Sawahan sudah siap mental dalam menyikapi kritikan. Sebagai kepala desa, menurut Suprapto dirinya memegang prinsisp kebersamaan.

“Jadi setiap apa yang mau direncanakan, kita disksusikan bersama semua pihak yang terlibat. Usulan yang disampikan kita kroscek di lapangan dan diputuskan secara mufakat,” tuturnya.

Baca juga: PR Besar DIY dalam Musrenbang RKPD 2019

Sementara itu, kepala desa Dlingo, Bahrun Wardoyo menyampaikan praktek DAP di desanya. Menurutna, desa Dlingo sejauh ini sudah memaksimalkan penggunaan SID dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kegiatan maupun program desa. Dirinya mengakui bahwa desa Dlingo memang fokus di pemberintaan (info desa).

“Saat ini di kabupaten bantul baru proses sinkronisasi SID dan SIAK. Layanan SID bisa diterima di kecamatan dan kabupaten. SID di Bantul hukumnya wajib di tingkat desa,” kata Bahrun.

Menurut Bahrun, meski kecil, desa Dlingo sudah mengalokasikan penganggaran untuk SID. Namun pada pelaksanaannya tetap dioptimalkan, sebab baginya, SID bisa berkontrinbusi untuk memajukan desa.

“Di akhir periode ini, kita berharap ketika ada pergantian pemimin tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan desa. Kita selalu memberi pemahaman terkait desa akuntabilitas publik. Bahkan, tahun 2018 kita lakukan sinkronisasi dengan SIAK,” kata Bahrun.

Sukanda, Rekan kerja Bahrun, yang juga perangkat desa Dlingo, berpendapat tentang pentingnya penyusunan skala prioritas dalam pelaksanaan DAP. Menurutnya ini penting dilaksanakan sebab kebutuhan tiap desa berbeda.

“Anggaran dari kabupaten kalau di aplikasikan ke tingkat desa harus kita buat skala prioritas. Desa Dlingo untuk tingkat DIY termasuk desa miskin, jadi kami harus membuat perencanaan untuk skala prioritas. Kalau di Desa Sawahan ada bedah rumah, di Dlingo sudah ada bantuan rumah layak huni dari pemerintah pusat dan provinsi. Sehingga di APBDes kami tidak diprioritasnkan untuk bedah rumah,” kata Sukanda.

Setelah memaparkan secara reflektif terkait pemahaman DAP, kedua desa tersebut kemudian melakukan diskusi Kelompok untuk mengidentifikasi kebutuhan implementasi konsep DAP. Dipandu oleh Adji, sebagai fasilitator, proses identifikasi tersebut dimulai dari menginventarisir fase/tahapan yang dilanjutkan dengan merumuskan peningkatan kapasitas guna mendukung tahapan yang dibuat.

Untuk desa Dlingo, ada dua tahapan yang dibuat dalam identifikasi kebutuhan implementasi DAP ini, pertama ialah Open data meliputi Aplikasi APBDes, Infografis dan Siskudes, yang kedua ialah pembuatan E-Budgeting. Tahapan tersebut diikuti pengembangan kapasitas seperti training dasar Open data dan Aplikasi Data, serta pembentukan tim untuk E-Budgeting.

Sementara desa Sawahan,  E-Budgeting yang juga dirumuskan dalam tahapan, diikuti oleh pengembangan kapasitas sejak dari penyiapan dan pengelolaan aplikasi, sosisaliassi ke warga, perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporannya.

Kontributor/Editor: AH