Mewujudkan SDGs Inklusif dan Partisipatif

Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Indonesia untuk SDGs

Pada awal bulan ini, tepatnya 6-7 Oktober 2015 di Jakarta, INFID mengundang Perkumpulan IDEA untuk menghadiri Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Indonesia untuk SDGs. Lebih dari 100 perwakilan masyarakat sipil dari seluruh Indonesia berkumpul dan mendiskusikan kerangka kerja pembangunan global baru Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Ada 3 pilar kunci utama dalam SDGs yang dapat diintegrasikan ke dalam agenda pembangunan nasional. Ketiga pilar tersebut, antara lain : 1) Kerangka kerja kebijakan dan peraturan, 2) Kerangka kerja kelembagaan, dan 3) Kerangka kerja akuntabilitas.

Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Indonesia untuk SDGs sendiri merumuskan beberapa poin penting, antara lain :A) Posisi strategis SDGs
Dalam konteks tata pergaulan global dan deplomasi Internasional, SDGs dapat menjadi landas pacu Indonesia untuk :
1. Menjaga kredibilitas dan komitmen politik Indonesia dalam menjawab terjadinya kesenjangan antar negara dan di dalam negara, menurunnya daya dukung lingkungan, serta perlambatan ekonomi global berdasarkan prinsip “no one left behind”.
2. Memperkuat posisi tawar, strategi diplomasi dan solusi sistemik untuk mengatasi kendala-kendala global melalui kemitraan, solidaritas global, kerjasama Selatan–Selatan, negara utara-selatan, Pemerintah dengan Pemerintah ( G to G), Pemerintah dengan Sektor Swasta, serta Pemerintah dengan Masyarakat Sipil.
3. Mengakselerasi peran aktif dan opsi-opsi Indonesia dalam mewujudkan visi peradaban baru sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development).
Sedangkan dalam konteks pembangunan nasional dan daerah, SDGs dapat menjadi titik ungkit untuk :
1. Mengubah paradigma pembangunan berkelanjutan, pembangunan yang memberdayakan dan membebaskan, agar lebih fokus pada pemenuhan hak-hak dan martabat manusia, keadilan dan kesetaraan gender, keberlanjutan bumi, keadilan ekologis antar generasi, mengharmoniskan kemajuan antara teknologi, ekonomi, sosial, dan alam, serta kemitraan antar pemangku kepentingan pembangunan di semua tingkatan.
2. Mendayagunakan SDGs sebagai kerangka kerja dan alat bantu bagi pemerintah dan CSOuntuk memperkaya, mempertajam, mendorong dan mempercepat pencapaianNawacita dan tujuan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.
3. Melipatgandakan daya sosial untuk mengakselerasi pencapaian tujuan, sasaran dan indikator pembangunan berkelanjutan Paska–2015, melalui kemitraan antara pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta di berbagai tingkatan berdasarkan platform co-governance dan co-creation.

B) Tantangan Implementasi SDGs
1. Ada beberapa ketidaksesuaian antara target RPJNM dan SDGs, bahkan ada yang berlawanan.
2. Kurangnya pemahaman pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, CSO, dan sektor swasta terkait posisi strategis dan relevansi SDGs dengan agenda pembangunan nasional dan daerah.
3. SDGs dipandang sebatas agenda internasional yang terpisah dengan dengan pembangunan nasional dan daerah, hal ini menyebabkan rendahnya komitmen politik dan lemahnya inisiatif dalam mendayagunakan SDGs sebagai kerangka kerja dan alat bantu untuk mengakselerasi capaian dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil pembangunan nasional dan daerah.
4. Pengalaman pelaksanaan MDGs di Indonesia, menunjukkan adanya 3 (tiga) modus persoalan. Pertama, MDGs hanya diperlakukan sebagai proyek artifisial dan tidak terintegrasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dan daerah. Kedua, pemerintah secara serta-merta mengadopsi secara parsial, sektoral dan simtomatik dari tujuan, target, dan indikator MDGs dengan meninggalkan filosofi, konteks, kebutuhan dan kondisi lokal. Ketiga, perumusan indikator untuk pemenuhan target MDGs belum memenuhi kriteria inklusif dan partisipatif. Ketiga modus tersebut sangat berpotensi akan terulang kembali, jika pemerintah hanya bekerja sendiri tanpa adanya pelibatan CSO dan pemangku kepentingan pembangunan yang lain, serta tidak memahami landasan historis-filosofis, prinsip-prinsip, pendekatan dan visi SDGs.
5. Berdasarkan pengalaman MDGs yang lalu, pemerintah Indonesia tidak memiliki dan mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif bagi para pihak yang dinilai berhasil maupun yang gagal dalam mencapai tujuan, target, dan indikator MDGs. Hal ini berdampak pada rendahnya komitmen, motivasi dan akuntabilitas kinerja percepatan MDGs. Hal yang sama sangat mengkin terulang kembali, jika regulasi dan/atau mekanisme insentif-disinsentif untuk pencapaian SDGs tidak segera dirumuskan.
6. Lemahnya kerjasama dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, pemerintah pusat dan daerah, serta antara pemangku kepentingan.
7. Rendahnya akuntabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan nasional maupun daerah.
8. Ketiadaan data yang berkualitas, terintegrasi dan mudah diakses yang dapat digunakan sebagai baseline, monitoring dan evaluasi kinerja pencapaian SDGs

C) Peluang-Peluang SDGs
1. Kesesuaian antara beberapa tujuan dan target Nawacita dan RPJNM dengan tujuan dan target dalam SDGs.
2. Inisiatif dari pemerintah untuk menyusun kerangka hukum, kerangka kelembagaan, serta mekanisme akuntabilitas untuk mencapai target.
3. Adanya elemen-elemen masyarakat sipil yang memiliki fokus cakupan aktivitas yang selaras dengan tujuan pencapaian SDGs.
4. Adanya kesamaan perspektif masyarakat global terhadap problem-problem pembangunan yang dapat dijawab melalui pemenuhan tujuan dan target dalam SDGs.
5. Adanya contoh praktek terbaik yang berupa model, inisiatif, dan inovasi antara Pemerintah-CSO di tingkat nasional maupun daerah yang sejalan dengan upaya-upaya perwujudan SDGs.
6. Adanya ruang-ruang interaksi, kerjasama, dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan.
7. Indonesia adalah inisiator, pendiri dan anggota Open Government Partnership yang membuka peluang bagi terwujudnya kesetaraan antara pemerintah dan CSO dalam proses pengambilan kebijakan publik.
8. Adanya Pokja SDGs di DPR.

2000
Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Indonesia untuk SDGs (Dok. Perkumpulan IDEA)

D) Inisiatif Strategis
1. Sosialisasi SDGs di berbagai instansi pemerintah, DPR, DPD, CSO, sektor swasta, perguruan tinggi dan mitra-mitra strategis baik di tingkat pusat maupun daerah.
2. Mengoptimalkan kerja instansi pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuandan Anak.
3. Mendorong pembuatan Instruksi Presiden untuk SDGs
4. Pembentukan Sekretariat Bersama (SekBer) sebagai model kerja yang bisa memastikan kesetaraan antara parlemen, pemerintah, dan CSO dalam merumuskan kerangka kebijakan, kelembagaan dan mekanisme akutabilitas pencapaian tujuan dan target SGDs. Adapun gambaran bentuk, tugas pokok, dan fungsi Sekber adalah :
– Sekretariat Bersama (SEKBER) untuk Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dibentuk oleh Keputusan Presiden dan dipimpin oleh pejabat setingkat Menteri (Kepala KSP). SEKBER sebagai Panitia Bersama yang melibatkan perwakilan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Kelompok Masyarakat Sipil dan Swasta. Sekretariat Bersama (SEKBER) untuk Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bertugas dan berfungsi memastikan partisipasi para pihak pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah Pusat, Kementrian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Kelompok Masyarakat Sipil, Sektor Swasta, Perguruan Tinggi, dan Parlemen.
– Sekretariat Bersama (SEKBER) untuk Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bertugas dan berfungsi memastikan SDGs tidak hanya menjadi tugas dan proyek pemerintah pusat. SEKBER juga memastikan bahwa SDGs menjadi tugas dan prioritas setiap pemerintah daerah, masyarakat sipil, pihak swasta dan dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.
– Memperjelas dan memastikan peran dan fungsi masyarakat sipil dalam SEKBER dan tidak mengabaikan peran dan fungsi CSO sebagai aktor yang mandiri dalam pembangunan. CSO harus memiliki sikap dan posisi politik yang jelas dan tegas.
– Memastikan pihak swasta yang terlibat adalah pihak yang tidak pernah melanggar dan memenuhi hak-hak pekerja.
5. Memastikan adanya institusi pemerintahan yang khusus menangani SDGs.
6. Menyusun arsitektur akuntabilitas pelaksanaan SDGs yang di dalamnya memuat skema pembiayaan, ketersediaan dan kualitas data, mekanisme pelaporan, pemantauan dan evaluasi.
7. Memperkuat gerakan dan strategi masyarakat sipil nasional dan daerah dalam rangka pencapaian SDGs.
8. Memastikan alokasi anggaran untuk SDGs dalam APBN serta memastikan pelaksanaan benar-benar nyata dilakukan di lapangan.
9. Menyusun arsitektur pembiayaan SDGs dalam APBN 2017–2019 yang mencakup (i) sumber pembiayaan, (ii) kajian dan analisa; estimasi kebutuhan prioritas; (iii) proyeksi dan skenario untuk pencapaian target–target dan indikator; (iv) memastikan alokasi dalam APBN/D; (iv) mengkoordinasikan dukungan pembiayaan dari lembaga filantropi dan bantuan kerjasama pembangunan lainnya; serta (vi) pertanggungjawaban pembiayaan.
10. Memastikan proses pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, dan partisipatif dalam semua level dari sejak merumuskan target, memformulasikan indikator, serta penyusunan panduan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pencapaian SDGs di berbagai tingkatan.
11. Memperkuat peranan pemerintah daerah untuk pencapaian SDGs yang disertai dengan insentif dan disinsentif.
12. Pelibatan perguruan tinggi, lembaga kajian, lembaga kajian, masyarakat adat, dan CSO untuk menyusun alat pemantauan dan penelitian terutama untuk sektor-sektor yang tertinggal dan belum tercapai seperti kesetaraan dan keadilan gender, pangan, sumber daya air, sanitasi, kesehatan, angka kematian ibu, kemiskinan, dan pendidikan.
13. Menyusun Rencana Aksi Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Rencana Aksi Nasional SDGs adalah pedoman bagi setiap Kementrian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah. Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah SDGs terintegrasi ke dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah setiap tahun, termasuk ke dalam rencana anggaran dan pendapatan belanja negara dan daerah. Penyusunan Rencana Aksi Nasional mencakup; (i) penyusunan tim yang bekerja selama 1 tahun; (ii) melaksanakannya dengan metode partisipatif, offline dan online; (iii) tim beranggotakan atau melibatkan para pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah dan pihak swasta; (iv) pembentukan unit kerja di bawah KSP yang disebut SDGs Labs (think–tank) yang akan menghasilkan 50–100 bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh Kementrian/ Lembaga dan pemerintah daerah serta dunia swasta. [admin]