Pemerintahan Daerah dan Kutukan Sumber Daya Alam

Sangat jarang pemerintah daerah di Indonesia yang tidak mengaku kekurangan dana. Rezim pajak daerah yang sentralistik sehingga tidak cukup lentur untuk menyesuaikan daya dukung eknomi daerah membuat pemerintah daerah gagal membangun sumber Pendapatan Asli Daerah yang berkelanjutan. Bahkan karena keterbatasan kewenangan memungut pajak, mayoritas pemerintah bertumpu pada pajak dan pungutan yang membebani orang miskin yaitu retribusi pelayanan kesehatan. Sementara potensi-potensi pajak yang memberi efek redistribusi kesejahteraan berada di luar jangkauan pemerintah daerah. Keterbatasan rezim pajak daerah ini membuat pemerintah daerah berupaya agar wilayahnya bisa sesegera mungkin —dengan kata lain pemerintah daerah tergesa-gesa— mengekstrak sumber-sumber daya alam dari kandungan buminya.

Di Jawa Tengah bagian selatan Pemerintah Daerah Kulonprogo, Purworejo, dan Cilacap mulai bermain mata dengan investor dari Australia untuk mengekstrak bijih besi (iron ores). Di Kulonprogo, pemerintah daerah bersikeras menambang bijih besi meskipun implikasinya adalah penggusuran lahan pertanian di sepuluh desa. Hingga saat ini konflik yang disebabkan oleh rencana tambang ini masih terjadi. Sementara Kabupaten Kebumen sudah sejak lama berusaha menjual pegunungan karts-nya yang kaya akan bahan baku semen. Di Jawa Timur bagian selatan seperti Pacitan, Trenggalek, dan Tulungagung yang kaya akan timah dan marmer, ekstraksinya meningkat pasca otonomi daerah. Kasus tambang timah di Pacitan menunjukan bahwa pemerintah daerah tidak mengawasi baku mutu lingkungan sehingga pabrik pengolahan timah sengaja dibangun di tengah Sungai Grindulu yang airnya mengalir ke kawasan kota yang padat penduduk.

Sementara itu, dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk bagi hasil sumber daya masih selalu menjadi masalah. Keluhan pemerintah daerah adalah perhitungan dana transfer yang tidak transparan dan pencairan dana yang terlambat sehingga menyulitkan belanja APBD di daerah. Kegagalan program-program pemerintah daerah tersalurkan dengan benar seringkali semata-mata disebabkan oleh dana transfer yang datang ke daerah menjelang akhir tahun anggaran. Kesulitan ini terjadi tidak hanya di daerah miskin sumber daya alam namun juga terjadi di daerah yang kaya sumber daya alam.

Pada daerah yang kaya sumber daya alam, kutukan sumber daya alam muncul dalam ketidakmampuan untuk menerima kenaikan pendapatan dan orientasi belanja yang buruk karena rendahnya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Pemerintah daerah yang selalu kekurangan PAD akan terburu-buru menandatangani kontrak dengan investor sebelum menyiapkan tata kelola kebijakan, kelembagaan, dan penganggaran daerah yang baik. Alih-alih mendatangkan PAD secara cepat namun pengelolaan yang buruk membuat kenaikan pendapatan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kita bisa menunjuk provinsi penghasil sumber daya alam terbesar di Indonesia seperti Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam yang masing-masing adalah propinsi dengan jumlah penduduk miskin nomor wahid dan nomor empat di Indonesia. (Admin)