Buku Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam berisikan solusi kebijakan praktis untuk menghadapi kutukan sumber daya alam. Buku ini disunting oleh Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs, dan Joseph E. Stiglitz. Penulis buku ini menuliskan: performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahan (good governance) negara-negara yang berkelimpahan dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumber daya alamnya lebih kecil. Ada paradoks, meskipun muncul harapan besar akan munculnya kekayaan dan luasnya peluang yang mengiringi temuan dan ekstraksi minyak serta sumber daya alam lainnya, anugerah seperti itu kerap kali menjadi penghambat dan tidak menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Sebaliknya banyak negara-negara yang dari sisi wilayah dan kekayaan sumber daya alamnya tidak seberapa tetapi berhasil menjadi negara-negara yang kuat secara ekonomi. Untuk fenomena yang terakhir ini, Singapura, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan bisa menjadi contoh. Mengapa pemilikan sumber daya alam (SDA) justru menjadi kutukan dan bukan menjadi anugerah? Kutukan apakah dan dari manakah asalnya? Pernyataan "kutukan" di sini mengacu kepada bagaimana suatu bangsa memperlakukan SDA yang dimilikinya. Sumber daya alam adalah anugrah yang seolah datang begitu saja dari Tuhan dan tidak perlu diproduksi ataupun didapatkan melalui proses pabrikasi. Negara-negara yang memiliki kekayaan ini tinggal mengambil saja dari dalam tanah. Ada dua faktor yang mendatangkan kutukan: pertama adalah persoalan keahlian yang tidak merata dan kedua adalah Dutch Disease (Penyakit Belanda). <img align="left" border="1" height="334" hspace="1" src="http://photos-p.friendster.com/photos/38/94/37764983/1_482642899l.jpg" style="border-width: 1px;margin: 1px" vspace="1" width="222">

Tak terbantahkan, Indonesia adalah Negara yang kaya sumber daya alam. Lima tahun ini, Indonesia berada di rangking 20 produsen minyak bumi di dunia. Kontribusi minyak bumi terhadap GDP negara ini adalah 5,2%. Namun hingga sekarang Indonesia terus mengalami penurunan surplus perdagangan minyak mentah yang drastis. Lima tahun lalu, kita masih surplus US$ 2 milyar, terus menurun hingga pada tahun 2006 tinggal US$ 316 juta dan pada delapan bulan pertama tahun 2007 surplus yang bisa diperoleh tinggal US$ 108 juta. Penurunan surplus ini disebabkan oleh sumber-sumber yang menurun dan pengelolaan yang tidak efisien.