Kelompok Rentan Menjadi Objek Pembangunan

Wonosari, 27 Maret 2017 – Partisipasi kelompok disabilitas dan kelompok rentan lain, seperti perempuan dan warga miskin, dalam pengambilan kebijakan tatkala proses perencanaan penganggaran dan pembangunan layanan publik ibarat pepatah “jauh panggang dari api”. Keterlibatan mereka lebih sebatas kehadiran, belum sampai memberikan usulan apalagi memastikan aspirasi itu termuat dalam dokumen perencanaan pembangunan.

Hal tersebut terungkap dalam acara “Workshop Hasil Territorial Assessment Kondisi Disabilitas dan Kelompok Rentan Lainnya di Kabupaten Gunungkidul” yang diselenggarakan Perkumpulan IDEA bekerja sama dengan 2 NGO disabilitas, yakni CIQAL dan Handicap International, dan Bappeda Gunungkidul, di Ruang Rapat Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Gunungkidul pada 27 Maret 2017. Workshop ini menghadirkan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah, Pemerintah Kecamatan, penyedia layanan publik seperti BPJS dan RSUD Wonosari dan pemerintah desa. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bentuk publikasi hasil pemetaan kewilayahan atas kondisi kelompok disabilitas dan kelompok rentan lainnya di Kabupaten Gunungkidul dalam rangka program “Advokasi untuk Perubahan” yang diselenggarakan oleh IDEA-HI-CIQAL. Territorial assessment (pemetaan kewilayahan) tersebut telah diselenggarakan tahun lalu pada bulan Februari 2016.

Dalam presentasinya, Suci Wulandari dari Perkumpulan IDEA menyatakan bahwa tingkat partisipasi yang minim tersebut disebabkan oleh ketidaksinkronan antara regulasi yang dibuat pemerintah dengan praktik yang berjalan. Secara regulasi, sejumlah payung hukum di tingkat daerah telah dibuat untuk memastikan partisipasi dari kelompok disabilitas dan kelompok rentan lain dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Perda Gunungkidul No. 18/2012 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah dan Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah dan Surat Edaran Bupati Gunungkidul No. 140/2967 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan RKP 2016, yang di dalamnya secara tegas menyebutkan bahwa kelompok rentan termasuk disabilitas dilibatkan sebagai peserta musyawarah di tingkat desa, adalah dua dari sekian regulasi yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Sayangnya, affirmative action pemerintah yang patut dihargai tersebut tidak berbanding lurus dengan apa yang diamanatkan . Minimnya informasi pemerintah di tingkat supra-kabupaten dan masyarakat secara umum tentang regulasi pro-kelompok rentan tersebut menjadi faktor utama minimnya partisipasi.

Minimnya partisipasi juga disebabkan oleh persepsi negatif masyarakat umum terhadap kelompok rentan, terutama disabilitas, sebagai pihak yang harus dikasihani dan ditolong. Akibatnya, mereka hanya dipandang kelompok yang tidak perlu berpartisipasi dalam masyarakat, terutama dalam proses pembangunan.  Dalam saat yang bersamaan, kekerasan terhadap anak, perempuan dan disabilitas sebagai kelompok rentan juga terus meningkat, dari 35 kasus yang tercatat di tahun 2014 menjadi 44 kasus di tahun 2015.

Menanggapi hasil territorial assesment tersebut, Priyanta Madya dari Bappeda Gunungkidul mengapresiasi dan berterima kasih kepada Perkumpulan IDEA, CIQAL dan Handicap International atas penelitian yang dilakukan. “Hasil pemetaan ini dapat dijadikan sebagai input bagi pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan ke depan,” ujar Priyatma. Patut diakui bahwa pemerintah telah mulai berinisiatif melibatkan kelompok rentan dan disabilitas dalam proses perencanaan penganggaran daerah dari tingkat kecamatan hingga kabupaten. Namun, ia pun menyayangkan bahwa sejumlah desa masih memandang partisipasi kelompok rentan, terutama disabilitas, adalah hal yang kurang penting dalam pembangunan. “Kelompok rentan hanya sebagai obyek dan ini yang kita cari solusinya,” imbuh Priyatma. (INM)