Rumuskan Panduan Satu Data Kemiskinan, IDEA Kembali Gelar Rakor dengan TKPKD DIY

Rapat KordinasiIDEA dengan TKPKD DIY membahas panduan satu data DIY, Kamis (26/04)
Rapat Koordinasi IDEA dengan TKPKD DIY membahas panduan satu data DIY, Kamis (26/04)

Yogyakarta, IDEA – Untuk merumuskan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam mewujudukan sistem informasi kemiskinan serta tersusunnya draft panduan untuk mewujudkan integrasi satu data kemiskinan, IDEA Yogyakarta kembali melaksanakan rapat kordinasi dengan multipihak jajaran pemerintahan, Kamis (26/04) di Kantor Bappeda DIY. Pihak jajaran pemerintahan dimaksud ialah dari Bappeda dan Dinsos DIY hingga kabupaten/kota didalamnya. Sebelumnya, IDEA juga sudah melakukan koordinasi serupa pada kamis, (29/04) di hotel Santika Yogyakarta.

Tenti Kurniawati, pegiat IDEA Yogyakarta mengatakan bawah tujuan dari pertemuan hari ini adalah rapat koordiansi antara IDEA Yogyakarta dengan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD)  untuk menyusun panduan satu data kemiskinan DIY.

“Pertemuan hari ini merupakan kelanjutan dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Di tahun 2018 diharapkan kerja-kerja satu data kemiskinan lebih kongkrit dan menjalankan apa yang disepakati bersama,” kata Tenti sembari membuka jalannya rapat.

Baca juga: Dorong Percepatan Integrasi SIK DIY, IDEA Gelar Rakor dengan Multipihak

Menurut catatan IDEA Yogyakarta, kemiskinan merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian pemerintah DIY. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DIY tergolong tinggi. Usia harapan hidup penduduknya tinggi, tingkat kebahagian penduduk DIY juga tergolong tinggi. Tetapi jumlah penduduk miskin di DIY menempati urutan ke 24 dari 34 provinsi di Indonesia.

Salah satu hal yang menjelaskan anomali tersebut adalah soal data. Belakangan ini banyak orang yang berpendapat, bahwa indikator kemiskinan BPS sudah tidak sesuai. Berdasarkan 14 indikator, hanya ada beberapa saja yang masih sesuai dengan kondisi masyarakat. Indikator kemampuan menyediakan makan, memenuhi kebutuhan gizi, menyediakan pakaian, perumahan, listrik, pendidikan dasar, dan bahan bakar dianggap tidak sesuai lagi. Hampir semua penduduk DIY telah mampu memenuhi hal-hal tersebut. Hanya dalam masalah pekerjaan dan kepemilikian tabungan sajalah terdapat warga yang tidak bisa memenuhi. Persoalan tidak hanya diindokator, tetapi ketidakpatuhan dalam proses pendataan juga terjadi, sehingga warga yang telah mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut masuk dalam daftar warga miskin.

Pada permasalahan tersebut Perkumpulan IDEA bersama dengan pemerintah daerah di tingkat DIY dan kabupaten/kota bekerjasama melakukan beberapa rangkaian kegiatan untuk mewujudkan kualitas data kemiskinan yang akurat. Data tersebut dapat digunakan untuk mendorong program penanggulangan kemiskinan.

Salah satu capaian dalam kerjasama tersebut adalah adanya komitmen pemerintah DIY dan kabupaten/kota untuk mewujudkan satu data kemiskinan di DIY. Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan kesepakatan penggunaan basis data BDT 2015 dan integrasi sistem informasi kemiskinan antara DIY dengan kabupaten/kota. Sebagai tahapan integrasi sistem informasi kemiskinan tersebut, kami bermaksud melakukan rapat koordinasi dengan pihakpihak terkait untuk menentukan langkah strategi yang tepat dalam percepatan integrasi sistem informasi kemiskinan di DIY. Kegiatan ini merupakan rencana tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya, pada Kamis 29 Maret 2018 di Hotel Shantika.

Baca juga: IDEA dan Pemkab Kulon Progo Launching Forum Akuntabilitas Publik Kulon Progo

Kepala Bidang Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) DIY, Abu, mengatakan bahwa Permasalahan kemiskinan di DIY yang masih 12,36% dalam 5 tahun kedepan diturunkan jadi 7%, setiap tahun rata2 1% lebih. Jika diintervensi seperti biasanya hanya akan turun 0,5-0,6 % pertahun.

“Jika diakumulasi dari rencana di RPJMD hanya bisa menurunkan 2,5 %. Salah satu cara untuk menemukan, siapa yang berhak diintervensi dengan data. Sementara data juga berubah di TNP2K dan KEMENSOS, tidak berjalan mulus seperti yang diinginkan. Dari TNP2K data kemiskinan berpindah KEMENSOS jadi berubah. Ada jenis 25 PMKS, datanya juga bermacam-macam,” ungkap Abu saat memberikan sambutan rakor.

Menurut Abu, mekanisme data awalnya sudah manis, baik dari TNP2K maupun BDT 2016 sudah diserahkan Kemensos. Kemensos memasukkan BDT dalam sistem kemensos, tapi kata Abu, Kemensos punya kebijakan lain, basedate data ditambah dari data-data dari Kemensos. Menurutnya, data BDT 2015 ditambah data program KEMENSOS hingga keluar jadi Data terpadu PPFM

“Ternyata kedalaman data dari TNP2K dan data yang ditambahkan dari Kemensos tidak sama, tidak sepadan. Disisi lain daerah harus menerapkan sasaran intervensi kemiskinan. Sementara datanya masih seperti yang digambarkan tadi. Sekarang banyak yang berubah, perubahan itu diperlukan updating. Mekanisme updating bermacam-macam. Dari MPM, SIK-NG, simnangkis dll,” ungkap Abu.

Abu berharap, jika hari ini belum bisa mematangkan terkait mekanisme SIK, paling tidak, menurutnya bisa memberikan gambaran draft beserta kisi-kisinya.

“Semoga Forum ini bisa menghasilkan sebuah draft pedoman dan disempurnakan dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya agar sistem informasi jadi lebih baik lagi, apalagi di masing-masing kabupaten/kota sudah ada sistem informasi pendataan, bagaimana agar SIK-NG bisa mengakomodir terhadap sistem-sistem yang ada di kabupaten/kota,” harapnya.

Sementara itu Sigit dari Dinas Sosial Sleman, mempertanyakan kesiapan pemerintah provinsi DIY terkait pembuatan SK yang mengatur kebijakan data kemiskinan. Sigit juga mempertanyakan kesepakatan yang sudah dibuat di rakor sebelumnya. Menurutnya kesepakatan-kesepakatan tersebut harus di clearkan agar pembahasan lanjutannya jadi terukur dan tidak sia-sia.

“Saya terganggu dengan apa yang jadi kesepakatan kita. Propinsi sudah siap belum dengan kesepakatan di Hotel Santika itu? Kesepakatan misal membuat SK data kemiskinan. Kesepakatan yang ada di Santika itu sudah clear belum? Jika sudah, lalu langkah-langkah berikutnya bagaimana? Kabupaten/kota bagaimana mensikronkan data varivali dengan data SIK-NG? Perlu di clearkan lagi kesepatakan ini, apakah Kabupaten/kota sudah sepakat? di internal mereka sendiri ada masalah. Bagi saya itu harus diselesaikan sebelum melangkah lebih jauh, agar tidak jadi sia-sia,” tutur Sigit.

Menaggapi kritikan Sigit, Abu menyampaikan bahwa jika Provinsi ingin mengintervensi kemiskinan, data kemiskinan kebupaten mengikuti yang disyarakatkan propinsi. Untuk SK, bagi Abu juga dperlukan SK bupati, jika intervensi legal, maka akan menggunakan data yang diverivali oleh kabupaten/kota.  Jika mau intervensi verivali, SK diperlukan oleh kab/kota.

“Provinsi mengharapkan apa yang dilakukan ini muaranya SK bupati. Provinsi tidak mengambil kebijakan jika tidak ada dasar hukumnya. Tahun 2018 intervensi kemiskinan harus ditetapkan SK bupati. Teman-teman kabupaten/kota harus melalui mekanisme ini. Agar kita ini legal.  Kita melakukan intervensi harus data BDTFFM diverivali dengan data kabupaten/kota,” Ujar SIgit.

Baca juga: Dorong Transparansi dan Akuntabilitas Desa, IDEA Gagas DAP

Tanggapan berbeda disampaikan oleh Indra Cahya dari Bappeda Kulon Progo, menurutnya Kulon Progo justru tidak menggunakan SK Bupati. Diakui dirinya, selama ini Kulon Progo bergantung terhadap janji TNP2K.

“2018 Kami tidak punya SK bupati, kami tergantung pada janji manisnya TNP2K. TNP2K menjanjikan desember sudah ada, dan kami siap mengSKkan, tapi ternyata sampai hari ini TNP2K menghindarkan ke KEMENSOS. Kami belum punya SK tentang data kemiskinan yang dipakai. Kami sudah komunikasi dengan Dinsos memperbaharui data BDT 2015,” ungkap Indra.

Indra mengatakan sistem di Kulonprogo sudah diintegrasikan dengan TNP2K, dishare ke Dinsos serta dikirim ke KEMENSOS. SIK-NG, kata Indra, dulunya belum seperti yang sekarang. Sebelum SIK-NG yang baru, Kulon Progo menggunakan sistemnya TNP2K.

“Kami harus melakukan perubahan supaya bagaimana sistem itu bisa konek dengan SIK-NG,” ujarnya.

Menanggapi diskusi diatas, Wimbo dari Dinas Komunikasi dan Informatika Sleman memiliki pandangan bahwa Verivali sebaiknya ada di daerah masing-masing dengan metodenya masing-masing pula. Namun, bukan berarti provinsi lepas tangan. Menurut Wimbo, justru yang harus memberikan standar. Sebab, Standar tersebut, kata Wimbo, yang dijadikan patokan di kabupaten/kota sebagai panduan

“Harus ada langkah kongkrit. Integrasi itu, yang mau diintegrasikan data apa saja ditentukan dulu. Dengan SIK-NG nyambung, itu urusan belakang. Mengumpulkan data itu rumit. Kita lebih ke taktisnya saja. Data sasaran harus satu propinsi,” tuturnya.

Lebih lanjut Wimbo mennyampaikan bahwa satu data ditentukan oleh indikator. Jika indikator data sudah sama, mekanisme seperti apapun, menurut Wimbo bisa jalan. Sedangkan sistem, kata Wimbo, yang akan menghasilkan data yang sama.

“Jika indikator/strukturnya sama, maka data bisa dikomunikasikan, kemudian disusuli SK bupati. Dari sisi teknis, jika mau berjalan dari pengalaman kami di Sleman, teknisnya jalan dulu. Komitmen sudah jelas dan jangan terlalu lama di perencanaan, kita segera bicara masalah teknis saja,” tegasnya.

Kontributor/Editor: AH