Mitra Sehati Lakukan Review Aturan Organisasi dan Materi Replikasi

Pelaksanaan Review Review Aturan Organisasi dan Materi Replikasi Mitra Sehati, Nglipar, Gunungkidul, Kamis-Jumat (10-11/05)
Pelaksanaan Review Review Aturan Organisasi dan Materi Replikasi Mitra Sehati, Nglipar, Gunungkidul, Kamis-Jumat (10-11/05)

Gunungkidul, IDEA – Untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan anggota organisasi tentang pembangunan organisasi rakyat (kelompok rentan), perencanaan pembangunan, monitoring partisipatif dan demokrasi pemerintahan lokal, serta advokasi untuk pemenuhan hak-hak kelompok rentan, IDEA Yogyakarta bersama dengan Mitra sehati melakukan review aturan organisasi dan materi replikasi. Review ini dilaksanakan di balai dusun Mengger, Nglipar, Kamis-Jum’at (10-11/05).

Mitra sehati merupakan organisasi kelompok rentan yang dibentuk IDEA Yogyakarta kerja sama dengan Ciqal, Human Inclusion, dan Europen Union dalam program bertajuk #AdvocatingForChange. Kelompok rentan yang terlibat dalam mitra sehati terdiri dari penyandang disabilitas, perempuan kepala rumah tangga serta warga miskin.

Ketua Mitra Sehati, Suhardiyanto, kembali mengapresiasi pendampingan yang dilakukan IDEA Yogyakarta untuk penguatan kelompoknya. Menurutnya ini kesempatan berharga untuk mengembangkan kapasitas anggota Mitra Sehati.

Suhardiyanto berharap agar anggota, khususnya pengurus Mitra Sehati memanfaatkan forum Review ini. Sebab menurutnya, pemahaman atas keorganisasian dan kerja-kerja advokasi merupakan persoalan mendasar yang masih dialami oleh kelompoknya.

“Bapak/ibu harap benar-benar mengikuti forum ini dengan baik, kalau ada yang perlu disampaikan monggo disampaikan ke fasilitator. Apalagi forum ini adalah usulan kita semua di pertemuan sebelumnya,” ujar Suhardi.

Terkait pelaksanaan review ini, Iganisus Klerek Mau, pelaksana kegiatan yang sekaligus pegiat IDEA Yogyakarta mengatakan bahwa review ini memang hasil evaluasi yang juga menjadi kebutuhan mendasar Mitra Sehati. Seperti diketahui, saat pelaksanaan workshop menyusun rencana strategis, Minggu (08/05) bulal lalu, Anggota Mitra Sehari banyak menyampaikan evaluasi terkait minimnya pemahaman mereka dalam menjalankan kerja-kerja organisasi dan advokasi.

“Hari ini sebagaimana hasil evaluasi dan refleksi pada pertemuan sebelumnya, kita akan belajar bersama tentang review aturan organisasi dan materi replikasi, harapannya ibu bapak kembali membuka AD/ART yang sudah kita susun bersama sebagai acuan Mitra Sehati dalam berorganisasi,” kata Ignas.

Sebagai informasi, review materi replikasi dilakukan sebagai  tindak lanjut dari Training of Trainer (ToT) yang diberikan IDEA terhadap beberapa orang perwakilan kelompok rentan. Materi dalam TOT tersebut diantaranya ialah terkait  dengan peningkatan kapasitas organisasi, perencanaan penganggaran daerah dan desa, monitoring partisipatif serta demokrasi pemerintahan lokal. 

Baca juga: Pelatihan Menyusun Rencana Strategis Bagi Kelompok Rentan Kembali Diberikan IDEA di Gunung Kidul

Review Aturan Organisasi

Tri Wahyuni Suci Wulandari, fasilitator dalam review aturan organisasi ini menyampaikan bahwa setiap anggota dan pengurus di Mitra Sehati harus paham tugas dan fungsinya masing-masing. Hal itu menurut pegiat IDEA tersebut penting sebab berkaitan langsung dengan berjalannya kerja-kerja organisasi.

“Kalau di Mitra Sehati sudah ada AD/ART organisasi, maka bapak-ibu tinggal membaca dan memahami kembali. Disana sudah jelas penjelasan terkait peran, tugas maupun fungsi dari pengurus dan anggota, termasuk aturan-aturan organisasi,” ujarnya.

Guna mendetailkan pemahaman peserta review, forum ini dibagi menjadi tiga kelompok untuk melakukan refleksi. Masing-masing kelompok mendiskusikan tema yang sama, yakni terkait kondisi riil, aturan, serta kebutuhan struktur pengurus, peran/tugas anggota dan pengurus hingga mekanisme pengambilan keputusan dalam Mitra Sehati.

Sigit yang mewakili kelompok dua menyampaikan beberapa refleksi penting kaitannya dengan kondisi Mitra Sehati. Menurutnya memang ada beberapa persoalan mendasar yang dialami Mitra Sehati, hal tersebut diantaranya terkait masih adanya anggota dan pengurus yang  tidak aktif, serta adanya pengurusyang belum tau tugas dan kewajibannya.

“Kondisi tersebut yang menyebabkan beberapa seksi belum berjalan perannya,” ungkap Sigit.

Terkait kebutuhan kedepan, Sigit menyampaikan bahwa Mitra Sehati perlu melakukan pembelajaran kembali tentang AD/ART kelompok serta pembelajaran untuk menyampaikan usul atau pendapat.

“Kalau tugas dan wewenang masing-masing pengurus menurut kami perlu dimasukkan dalam AD/ART,” ujarnya.

Sementara itu hasil refleksi kelompok tiga menyoroti soal pengambilan keputusan pengurus  yang tidak melibatkan anggota. Padahal, keterlibatan dan pertimbangan anggota dianggap penting untuk menghasilkan keputusan yang mufakat.

“Pengambilan keputusan pada tingkat pengurus belum meminta pertimbangan anggota, padahal penting agar mufakat bersama,” ungkap Citra, mewakili kelompoknya.

Soal kebutuhan, Citra mengatakan bahwa tiap pertemuan maupun kegiatan perlu ada notulensi untuk mencatat point-point pentingnya. Citra juga mengungkapkan bahwa anggota kelompok memerlukan alat informasi secara modern seperti chattinggrup. Hal itu, menurutnya untuk menunjang saluran informasi, baik secara formal maupun informal.

Baca juga: IDEA Berikan Pelatihan Menyusun Rencana Strategis Bagi Kelompok Rentan

Review Materi Replikasi

Sementara itu, Sunarja, direktur IDEA, yang sekaligus menjadi pemandu dalam review ini menyampaikan banyak hal, terkait tata kelola pemerintahan desa sesuai mandat undang-undang desa no 6 tahun 2014, baik terkait wewenang desa, pendapatan desa serta pentingnya keterlibatan kelompok rentan dalam perencanaan dan pembangunan di desa.

Menurut Sunarja, sebelum adanya UU desa, kewenangan desa dalam melakukan perencanaan dan pembangunan desa sangat terbatas. Desa, kata Sunarja, hanya melaksanakan program yang diminta oleh pemerintah kabupaten.

“Kalau dulu desa adalah bagian dari pemerintah kabupaten sehingga anggarannya hanya sisa (residu) dari kabupaten yang diberikan ke desa. Desa tidak memilikii kewenangan yang cukup besar sehingga yang dilakukan hanya menjalankan perintah atau program-program yang ada di atasnya,” katanya.

Namun, lanjut Sunarja, setelah UU desa disahkan, pemerintah desa secara otomatis memiliki otonomi dalam mengelola, khususnya terkait perencanaan dan pembangunan di desanya.

“Setelah ada UU Desa, Desa diakui menjadi pemerintahan sendiri yang berada di wilayah Kabupaten, sehingga mempunyai otoritas sendiri termasuk mengelola uang sendiri sesuai dengan kebutuhan di Desa, selama tidak melanggar aturan diatasnya,” ungkapnya.

Karenanya, kata Sunarja, paradigma para warga desa, khususnya pemeritah desa juga harus mulai diubah. Menurutnya, ini penting untuk mewujudkan pembangunan di desa yang benar-benar terencana, berkelanjutan serta partisipatif.

“Perlu dirubah pola pikir dari pemerintah dan masyarakat, kalau dulu desa hanya menjadi objek pembangunan, sekarang desa sudah punya kewenangan menyusun anggaran sendiri. Kalau dulu ada multi perencanaan, sekarang mesti satu perencanaan sesuai rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDES). Pembangunan yang sekedar untuk memenuhi syarat adiministratif harus diubah menjadi pembangunan yang berkelanjutan, serta paradigma pemerintah yang berkuasa juga harus diubah menjadi rakyat yang punya kuasa agar partisipatif,” papar Sunarja.

Untuk mengelola atau menyusun program perencanaan dan pembangunan, menurut Sunarja, sudah ada mekanisme musyawarah yang wajib dijalankan desa, yakni Musyawarah perencanaan dan pembangunan desa (Musrenbangdes). Dalam Musrenbangdes, masyarakat bisa berpartisipasi langsung untuk mengusulkan usulan-usulan terkait rencana pembangunan di desa. Selain, musrenbangdes, forum yang membahas program-program strategis desa juga adalah musyawarah desa (Musdes), hanya saja, forum ini khusus dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setahun sekali.

Alur pelaksanaan Musrenbangdes sendiri, ujar Sunarja, dimulai dari tingkat pedukuhan. Bahkan, menurutnya ada juga yang dari tingkat RT. Proses tersebut biasa disebut dengan persiapan musrenbangdes. Setelah selesai ditingkat RT/padukuhan, secara resmi kemudian dibahas dalam Musrenbangdes yang dilaksanakan oleh pemerintah desa.

”Jadi RT dan dukuh atau tokoh-tokoh masyarakat dan organisasi mempersiapkan usulan dalam persiapan tersebut untuk dibawa ke musrenbangdes. Bapak dan Ibu (kelompok rentan/penyandang disabilitas) memiliki hak dalam proses musrenbang,” ujarnya.

Keterlibatan Warga

Terkait praktik keterlibatan warga dalam proses perencanaan di desa, Suhardiyanto yang merupakan ketua Mitra Sehati, sekaligus warga Nglipar menuturkan bahwa saat di forum, kelompok rentan tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan usulan. Pengalamannya, kelompok rentan hanya diundang secara formal dan menerima draft yang sudah ada.

“Disana kita tidak bisa mengajukan usulan hanya dikasih kertas panduan yang berisi program-program kerja, kita hanya diminta untuk mereview saja. Mekanisme di Nglipar seperti itu dalam MusDes. Kita diberikan kesempatan untuk menyampaikan usulan saat di MusDus,” tuturnya.

Sementara untuk mengusulkan di tingkat dusun, warga justru belum disosialisikan keberadaan Badan Permusyawaratan Desanya (BPD). Bahkan, seperti diakui Nunik, warga tidak dikenalkan terhadap perangkat BPDnya. Padahal, ungkap warga Nglipar yang juga pengurus Mitra Sehati ini, dirinya dan kelompoknya sudah mendorong desa untuk mensosialisasikan perangkat BPDnya.

“Tadinya saya tidak tau siapa saja dan berapa jumlah BPD sebelum saya aktif dan sering di desa, dulu kami pernah mengusulkan agar BPD mensosialisasikan diri kepada warga di masing-masing dusun agar warga mengetahui siapa saja dan apa saja tugas mereka. Namun, sampai saat ini dari semua anggota BPD di Nglipar belum melakukan hal tersebut, sehingga banyak warga yang tidak mengetahui dan mengenalnya,” tutur Nunik.

Kontributor/Editor: AH