Cerita Sukses AFC (4): Kelompok Rentan Pelopori Publikasi Dokumen Anggaran di Kota Yogyakarta

Kelompok Rentan Yogyakarta Saat Mengikuti Workshop Penganggaran yang Aksesibel, Selasa (13/06/2017)
Kelompok Rentan Yogyakarta Saat Mengikuti Workshop Penganggaran yang Aksesibel, Selasa (13/06/2017)

Keberadaan kelompok rentan, baik di desa maupun di kota, seringkali menjadi obyek program pemerintah. Program-program pemerintah nasional dan provinsi, hingga kota pun tidak jarang mengusik ketentraman horizontal di kalangan kelompok rentan. Pasalnya, sosialisasi yang dilakukan berantai tidak disertai dokumen kebijakan yang akurat dan tidak melibatkan calon penerima manfaat program. Kondisi ini berlangsung sejak pemerintahan masa lalu yang cenderung top-down. Kebijakan top-down masih menjadi taktik tersendiri dengan alasan klasik, sehingga kelompok marginal ini tidak dilibatkan dalam beberapa proses penting pembangunan.

Pertengahan tahun 2016, kelompok rentan yang terdiri dari lansia, masyarakat miskin, perempuan kepala keluarga, masyarakat rentan miskin, serta penyandang disabilitas di wilayah kota Yogyakarta, tepatnya di kelurahan Baciro, Kec. Gondokusuman, kelurahan Kadipaten, Kec. Kraton, serta kelurahan Cokrodiningratan, Kec. Jetis merasa bahwa mereka adalah bagian masyarakat yang ada di level paling bawah, sehingga tidak pantas berpikir dan berbicara dalam forum perencanaan pembangunan. Imbasnya, mereka merasa apriori dan dianggap sebagai pihak yang tidak dipertimbangkan dalam relasi antara warga dengan pemerintah.

Namun, setelah mengikuti serangkaian kegiatan pemahaman atas hak dan kewajiban warga, melalui tahapan dalam program Advocating For Change (AFC), kelompok rentan di beberapa kelurahan tersebut merasa pentingnya dibuat sebuah organisasi kelompok rentan. Hal itu untuk menegaskan relasi antara pemerintah dengan warga, serta bisa mewujudkan perencanaan pembangunan yang mengedepankan partisipasi kelompok rentan. Selain memang, untuk melaksanakan fungsi pemantauan terhadap pelaksanaan pembangunan.

Dengan pertimbangan diatas, kelompok rentan tersebut akhirnya membangun organisasi untuk memperjuangkan perlindungan, pemenuhan hak dan pemberdayaan kelompok rentan. Nama-nama organisasi kelompok rentan ini adalah, kelompok Baciro dari kelurahan Baciro, Kec. Gondokusuman, Kadipaten Lestari dari kelurahan Kadipaten dan Cokro Selaras Ati dari kelurahan Cokrodiningratan. Organisasi ini dijadikan  wadah berkumpul membahas persoalan-persoalan yang dirasakan kelompok rentan. Secara bertahap, sikap apriori yang pernah ada dalam kelompok rentan mulai terurai. Kelompok rentan memiliki pencerahan serta bangkit sebagai bagian warga yang memiliki hak sama dengan unsur masyarakat lain.

Salah satu kegiatan advokasi yang dilakukan ketiga kelompok rentan ini adalah mendesk adanya transparansi dokumen anggaran pembangunan di wilayah kelurahan masing-masing. Hal yang dijadikan titik masuk ialah meminta pemerintah kelurahan untuk mempublikasikan dokumen anggaran pembangunan. Titik masuk ini sebagai bentuk pertanggungjawaban bersama perwakilan kelompok rentan kepada organisasi yang memandatkannya. Disamping itu, juga sebagai pertanggungjawaban publik atas perencanaan pembangunan di wilayah kelurahan/kecamatan yang diakomodir dalam APBD.

Menariknya, publikasi dokumen anggaran ini didesain agar penyandang disabilitas juga bisa mengakses informasi didalamnya. Sehingga tampilan, jenis dan bahan serta pendistribusian/pemasangannya didorong untuk aksesibel.

Upaya publikasi transparansi dokumen anggaran yang aksesibel ini dilakukan melalui beberapa rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh ketiga kelompok rentan. Upaya tersebut diantaranya ialah,

  1. Akses Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)-Rencana Kerja Anggaran (RKA) masing-masing kelurahan tahun berjalan

  2. Mengkaji dokumen penganggaran pemerintah tahun berjalan tersebut untuk menemukan usulan kelompok rentan yang diakomodir dalam APBD Kota

  3. Merencanakan bentuk, jenis, bahan dan jumlah produk publikasi serta sasaran distribusi/tempat pemasangan publikasi dokumen transparansi anggaran yang aksesibel

  4. Konsultasi kelompok rentan kepada pemerintah kelurahan mengenai rancangan publikasi tersebut

  5. Pra cetak

  6. Cetak

  7. Distribusi/publikasi

Selama proses mengupayakan publikasi dokument anggaran tersebut, tidak sedikit hambatan yang muncul dalam perjalanan. Salah satu hambatan tersebut datang dari anggota DPRD Kota Yogyakarta saat IDEA akan mengakses  Dokumen Pelaksanaan Anggaran  (DPA).  Anggota dewan tersebut menyatakan bahwa DPA kecamatan bersifat rahasia, alasannya karena DPA kecamatan berada dalam kewenangan penuh camat.

Hambatan lain, kelompok rentan dalam membaca dokumen penganggaran ini cukup menyita waktu. Hal tersebut karena selama ini kelompok rentan tidak pernah melihat dokumen pembangunan tersebut.

Namun, semua hambatan ini dapat diatasi dan menjadi pembelajaran bersama, bahwa mengupayakan transparansi anggaran program pembangunan itu tidak mudah. Ada pihak-pihak yang kurang berkenan jika rencana kerja anggarannya diketahui masyarakat, terlebih mindset pemerintah yang selama ini menganggap kelompok rentan sebagai obyek pembangunan.

Kontributor   : EBM

Editor             : AH