Hasil dan Rekomendasi People’s Summit on Alternative Development 2018

Salah Satu Diskusi Tematik dalam Rangkaian Pelaksanaan Peoples Summit on Alternative Development, di Sanur, Bali, Senin (08/10)
Salah Satu Diskusi Tematik dalam Rangkaian Pelaksanaan Peoples Summit on Alternative Development, di Sanur, Bali, Senin (08/10)

Bali, IDEA Yogyakarta – Pelaksanaan People’s Summit on Alternative Development bertajuk “Voices on Equality and Justice, From the Past to the Future” yang diselengarakan di Sanur, Denpasar, Bali, 08 – 10 Oktober 2018 sudah selesai. Forum yang melibatkan lembaga Civil Society termasuk IDEA Yogyakarta, pelaku praktek baik di desa, pemerhati lingkungan, pegiat antikorupsi, serta aktivis For Bali ini dilaksanakan untuk menyikapi IMF-World Bank Anual Meeting yang juga dilaksanakan di Bali pada 8 – 14 Oktober 2018. Keterlibatan ini sekaligus sebagai bentuk peran aktif masyarakat sipil untuk turut menentukan pola pembangunan yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat banyak.

Seperti jamak diketahui, keberadaan IMF-World Bank di Indonesia berkontribusi besar terhadap proses liberalisasi pasar di Indonesia. Dampaknya, banyak pembangunan Negara berkembang, termasuk Indonesia dipaksa mengikuti skema dan ukuran ekonomi global.

Dalam rilis People’s Summit ditegaskan, bahwa penandatanganannt (LoI) IMF pertama pada tahun 1997 awalnya memang dimaksudkan untuk menyelamatkan perusahaan yang kolaps dan bank yang tidak sehat. Namun, sebagai imbalannya, Pemerintah Indonesia perlu mendorong liberalisasi/privatisasi di sektor minyak dan gas, air, pendidikan dan tenaga kerja murah. Meskipun skema dan lembaga keuangan yang dibuat berdasarkan rekomendasi LoI IMF tidak ada lagi, dampak yang diperoleh dari peristiwa tersebut (komitmen utang) pada tahun 1997 terus menjadi beban serius bagi pemerintah.

Selama proses lokakarya People Summit ini, setidaknya ada 11 isu utama yang menjadi pokok perhatian terkait keberadaan dan dampak program IMF-WB di Indonesia. Isu-isu tersebut antara lain terkait Utang Sejarah Bank Dunia dan IMF, Perubahan iklim dan Sumber Daya Alam (tanah, air dan isu kemaritiman), Anti Korupsi, Transparansi dan Pendanaan Pembangunan, Peningkatan Pelayanan Publik,  melalui Kesetaraan Gender dalam Kesehatan dan Pendidikan, Keadilan Pajak dan Penanggulangan Ketimpangan, Perjanjian yang Mengikat Secara Hukum bagi Lembaga Keuangan Internasional dan TNC’s, Investasi Infrastruktur, Keuangan Negara dan Dampak Sosial dan Lingkungan, Ekonomi Digital, buruh migran dan Pekerjaan yang Layak, Pembangunan Berbasis Desa dan Pemberdayaan Sosial Ekonomi, Sektor Keuangan yang Berkelanjutan, serta Penyelamatan Asset pembangunan.

Indonesia telah menjadi anggota Bank Dunia/IMF sejak tahun 1967. Namun, sampai sekarang belum pernah dilakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja kedua lembaga ini bagi Indonesia. Karena itulah, menelusuri kembali utang-utang sejarah (historical debt) menjadi penting untuk identifikasi bentuk-bentuk tanggung jawab Bank Dunia/IMF. Tahun 1998 IMF memberikan serangkaian nasihat untuk keseimbangan keuangan Indonesia, namun walau Indonesia sudah melunasi utangnya atas ‘nasihat’ IMF, tapi dampaknya masih dirasakan sampai sekarang, seperti kasus BLBI.

Berbasiskan fakta empiris pada masa 1980an, para ekonom dimotori oleh organisasi Internasional seperti World Bank dan IMF memotori rekomendasi berbagai program liberalisasi perekonomian yang dikenal sebagai Washington Consensus. Isu ketimpangan pada masa itu tidak menjadi debat utama di kalangan ekonom, dan fokus analisis ekonomi adalah pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut tidak terlepas dari keyakinan ekonom pada keberadaan trickle-down effect. Liberalisasi perdagangan, liberalisasi sektor finansial, liberalisasi pasar tenaga kerja dan industrialisasi menjadi rekomendasi kebijakan ekonomi yang dipandang sebagai sebuah panasea bagi seluruh permasalahan pembangunan ekonomi di Negara maju dan berkembang.

Harapan adanya investasi yang tumbuh pesat dan transisi dari perekonomian berbasis sektor primer ke arah industrialisasi di banyak negara di dunia mengalami kegagalan. Konsekuensinya, kemiskinan tetap terjadi dan bahkan memperparah kondisi ketimpangan distribusi pendapatan dan akses terhadap aset produktif. Sementara beberapa negara yang tidak menjalankan resep kebijakan pembangunan ekonomi tersebut, khususnya Tiongkok dan India sejak awal tahun 2000an justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan menjadi motor penggerak perekonomian global saat ini.

Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan “apa yang salah dengan rekomendasi kebijakan dan teori pertumbuhan ekonomi sebagai landasan teoritis dan empiris dari rekomendasi kebijakan pembangunan tersebut” Jawaban utama dari pertanyaan tersebut adalah kalimat yang disampaikan oleh pemenang Nobel Ekonomi, Amartya Sen, sebagai berikut:

 “Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan alat dari pembangunan”

Teori pertumbuhan ekonomi masih memandang manusia sebagai factor produksi, selain modal. Akumulasi modal menjadi prioritas pembangunan, baik itu modal manusia maupun modal fisik dalam perekonomian. Prioritas pembangunan manusia akhirnya juga bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dan bukan untuk menghasilkan manusia yang lebih berkualitas dan berintegritas. Lebih banyak penduduk yang menikmati pendidikan untuk menjadi tenaga kerja terdidik dan trampil menjadi tujuan pembangunan, tanpa memikirkan kualitas hasil pendidikan tersebut. Sementara, pendapatan per kapita masyarakat yang lebih tinggi menjadi tujuan tanpa memikirkan kualitas pengeluaran atau belanja dan konsumsi masyarakat.

Tidak ada jalan pintas dalam proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan hanya dapat tercapai jika telah melalui proses pemberdayaan ekonomi seluruh lapisan masyarakat, bukan sebagian kecilnya saja.

Sebagai tuntutan dan sumbangan pemikiran bagi WB dan IMF 6 butir resolusi ini kami sampaikan sebagai berikut,

  1. Agar WB membangun mekanisme akuntabilitas atas kinerjanya yang prinsipnya adalah inklusif, material, responsif, dan bertanggung-gugat atas dampak—termasuk untuk projek-projek yang telah selesai di masa lampau.
  2. Agar seluruh negara memastikan bahwa dalam setiap projek yang dibiayai oleh Bank Dunia/IMF, penerima manfaat utamanya adalah masyarakat, dan bukan sekedar investor dan pelaksana proyek
  3. Agar Pemerintah Indonesia melakukan audit projek dan/atau kebijakan yang didanai oleh utang untuk mengetahui mana utang yang efektif dan tidak dan mengupayakan renegosiasi pembayaran atas utang-utang yang tidak efektif, termasuk kemungkinan penghapusannya.
  4. Agar WB/IMF dan Pemerintah Indonesia menghapus impunitas dari seluruh pelaksana proyek yang dibiayai oleh WB/IMF.
  5. Agar tidak pernah lagi mempergunakan pendekatan kebijakan one size fits all yang telah terbukti tidak efektif, bahkan berbahaya
  6. Meminta Negara-negara anggota untuk secara konsisten menguatkan dan melaksanakan standard HAM, anti-korupsi dan lingkungan sebagai syarat untuk menerima dan menghentikan pendanaan pembangunan baik bersumber dari WB, IMF, dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya.

Secara khusus, lokakarya tematik yang telah dilaksanakan juga menghasilkan rekomendasi sebagai berikut,

  1. Menyerukan seluruh negara, khususnya negara-negara industri untuk dengan sungguh-sungguh menunjukkan komitmen terhadap pencapaian tujuan Persetujuan Paris, dan mempertimbangkan Laporan Khusus IPCC tentang 1.5oC dan mengembangkan strategi dekarbonisasi yang signifikan untuk memastikan bahwa kenaikan rata-rata suhu global tidak melewati 1.5oC dengan tetap menghormati hak-hak asasi manusia dan integritas ekosistem (ecosystem integrity).
  2. Mendesak seluruh negara untuk memiliki sistem dan regulasi keuangan yang selaras dengan dan mampu menopang pencapaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Persetujuan Paris, dan secara khusus ketentuan dalam Persetujuan Paris untuk memastikan adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan integritas ekosistem.
  3. Menyerukan agar SDGs dan Persetujuan Paris diterjemahkan di seluruh negara ke dalam detail program dan kebutuhan pembiayaan yang jelas.
  4. Meminta negara-negara untuk memberikan indikasi yang jelas tentang besaran kontribusi pembiayaan pembangunan keberlanjutan yang diharapkan dari belanja pemerintah, swasta, masyarakat, bantuan internasional, serta lembaga keuangan multilateral.
  5. Menekankan pentingnya perhitungan yang tepat atas biaya ekonomi, sosial dan lingkungan—termasuk namun tak terbatas pada biaya sosial karbon (social cost of carbon)—dari seluruh sektor penghasil emisi gas rumah kaca, dan memasukkan perhitungan tersebut ke dalam pengambilan keputusan pembiayaan.
  6. Menghimbau negara-negara untuk mewajibkan laporan atas kebijakan, strategi, program, dan kinerja seluruh isu terkait keberlanjutan bagi seluruh lembaga jasa keuangan; serta untuk mengupayakan sebuah traktat internasional yang mengikatnya.
  7. Menyerukan seluruh kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya untuk terus menguatkan upaya advokasi pertanggunggugatan perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional di level internasional, nasional, dan lokal 
  8. Mendesak PBB untuk segera menyelesaikan perjanjian yang mengikat untuk mewajibkan tanggung gugat perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional atas dampak negatif ekonomi, sosial, dan lingkungan yang mereka timbulkan.
  9. Mendukung negara-negara untuk memasukkan klausul tanggung gugat atas dampak yang ditimbulkan dalam pemberian kontrak dan izin investasi kepada perusahaan transnasional dan  lembaga keuangan internasional, serta benar-benar menegakkannya manakala terjadi pelanggaran.
  10. Menegaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional yang telah lampau perlu diselidiki secara mendalam dan hasil-hasilnya dipergunakan untuk meminta pertanggunggugatan mereka yang melanggarnya.
  11. Menekankan pentingnya mekanisme remedi yang adil dan transparan atas pertanggunggugatan perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional, sepadan dengan dampak negatif yang telah mereka  timbulkan.
  12. Mengarusutamakan prinsip-prinsip keseteraan gender terhadap seluruh rekomendasi kebijakan dan proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia.
  13. Mengingatkan penggerak anti korupsi baik di lembaga internasional, pemerintah nasional, dan regional serta masyarakat sipil dan pelaku swasta bahwa mengandalkan  pendekatan penindakan tidak akan cukup jika sistem, peraturan serta struktur insentif dan disinsentif tidak diperbaiki.
  14. Menuntut kepada Pemerintah Indonesia dan Negara-negara penadatangan UNCAC untuk melakukan Pemiskinan Koruptor dan keluarganya, sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. WB-IMF harus menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk memperbaiki tata kelola pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan secara spesifik menerapkan pendekatan keterbukaan kontrak, sebelum memberikan bantuan keuangan
  15. IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan reformasi fiscal yang berkeadilan sebagai jalan untuk meredistribusi kekayaan dan mengurangi ketimpangan.
  16. IMF dan Bank DUnia harus melakukan upaya serius dan memimpin upaya-upaya untuk menanggulangi illicit financial flow atau pelarian uang haram dari Negara asal.
  17. IMF dan Bank DUnia bersama lembaga multilateral lainnya harus memiliki komitmen untuk membayai pembangunan berkelanjutan yang menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia
  18. Pelayanan publik harus melibatkan partisipasi publik tanpa diskriminasi, dan berbasiskan pada prinsip-prinsi dan standar hak asasi manusia

Tertanda, organisasi masyarakat sipil yang merumuskan dan menyepakati hasil ini,

  1. Elsam
  2. debtWATCH Indonesia
  3. HuMA
  4. INFID
  5. KIARA
  6. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  7. Prakarsa
  8. Public Services International (PSI)
  9. Migrant Care
  10. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
  11. Kemitraan
  12. KSBSI
  13. Transparency  International Indonesia
  14. YAPPIKA-ActionAid
  15. TiFA
  16. Oxfam
  17. Taring Babi – Marjinal
  18. Publish What You Pay (PWYP)
  19. TuK Indonesia
  20. Asian Democratic Network (ADN)
  21. PosmaCenter
  22. Forum Masyarakat Adat Pesisir
  23. PPNI (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia)
  24. LBH APIK, Bali
  25. Hivos
  26. Sawit Watch
  27. IDEA Yogyakarta
  28. PERDU Manokwari
  29. Friends of the National Parks Foundation
  30. Diskusi Warga Medsos

Sumber                 : Kontributor, Hasil People’s Summit

Kontributor/Editor : AH