Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki wilayah terluas dibandingkan kabupaten yang lain di DIY. Akan tetapi, Gunungkidul termasuk wilayah yang tandus. Stuktur tanah berbatu (karst) menyebabkan daerah ini mengalami kesulitan air, apalagi di musim kemarau. Sehingga Gunungkidul dikategorikan sebagai daerah kekeringan. <div align="left"> <a href="http://1.bp.blogspot.com/_ftBYMijUKv8/SYv-rZI2iwI/AAAAAAAAAAM/CiAGhE7ofvk/s1600-h/IMGP6746.jpg"><img align="right" height="240" hspace="2" src="http://1.bp.blogspot.com/_ftBYMijUKv8/SYv-rZI2iwI/AAAAAAAAAAM/CiAGhE7ofvk/s320/IMGP6746.jpg" style="border-width: 0px;margin: 2px;float: right;width: 320px;height: 240px" vspace="2" width="320"></a>Kondisi geografis gunungkidul menyebabkan masyarakat kesulitan mengembangkan potensi ekonomi. sehingga banyak warga usia produktif yang pergi merantau untuk meningkatkan perekonomian keluarga. </div> Kondisi ini, menyebabkan banyak pihak yang ingin membantu melalui kegiatan pemberdayaan masyarakatnya. Tahun 2004, IDEA melalui program "Pelembagaan Partisipasi Perempuan Dalam Kebijakan Penganggaran Daerah Gunungkidul" menemani 5 kelompok perempuan di 5 kecamatan. Kelompok itu adalah:

Buku Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam berisikan solusi kebijakan praktis untuk menghadapi kutukan sumber daya alam. Buku ini disunting oleh Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs, dan Joseph E. Stiglitz. Penulis buku ini menuliskan: performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahan (good governance) negara-negara yang berkelimpahan dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumber daya alamnya lebih kecil. Ada paradoks, meskipun muncul harapan besar akan munculnya kekayaan dan luasnya peluang yang mengiringi temuan dan ekstraksi minyak serta sumber daya alam lainnya, anugerah seperti itu kerap kali menjadi penghambat dan tidak menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Sebaliknya banyak negara-negara yang dari sisi wilayah dan kekayaan sumber daya alamnya tidak seberapa tetapi berhasil menjadi negara-negara yang kuat secara ekonomi. Untuk fenomena yang terakhir ini, Singapura, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan bisa menjadi contoh. Mengapa pemilikan sumber daya alam (SDA) justru menjadi kutukan dan bukan menjadi anugerah? Kutukan apakah dan dari manakah asalnya? Pernyataan "kutukan" di sini mengacu kepada bagaimana suatu bangsa memperlakukan SDA yang dimilikinya. Sumber daya alam adalah anugrah yang seolah datang begitu saja dari Tuhan dan tidak perlu diproduksi ataupun didapatkan melalui proses pabrikasi. Negara-negara yang memiliki kekayaan ini tinggal mengambil saja dari dalam tanah. Ada dua faktor yang mendatangkan kutukan: pertama adalah persoalan keahlian yang tidak merata dan kedua adalah Dutch Disease (Penyakit Belanda). <img align="left" border="1" height="334" hspace="1" src="http://photos-p.friendster.com/photos/38/94/37764983/1_482642899l.jpg" style="border-width: 1px;margin: 1px" vspace="1" width="222">

Tak terbantahkan, Indonesia adalah Negara yang kaya sumber daya alam. Lima tahun ini, Indonesia berada di rangking 20 produsen minyak bumi di dunia. Kontribusi minyak bumi terhadap GDP negara ini adalah 5,2%. Namun hingga sekarang Indonesia terus mengalami penurunan surplus perdagangan minyak mentah yang drastis. Lima tahun lalu, kita masih surplus US$ 2 milyar, terus menurun hingga pada tahun 2006 tinggal US$ 316 juta dan pada delapan bulan pertama tahun 2007 surplus yang bisa diperoleh tinggal US$ 108 juta. Penurunan surplus ini disebabkan oleh sumber-sumber yang menurun dan pengelolaan yang tidak efisien.

<strong>DALAM</strong> anggaran berbasis kinerja (<em>performance budgeting</em>), sebagaimana yang diterapkan saat ini, dikenal dua jenis belanja (pengeluaran). Pertama, belanja aparatur daerah, yang kemanfaatannya dirasakan secara langsung oleh aparatur daerah, tetapi tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Kedua, belanja pelayanan publik atau sering disebut belanja publik, belanja yang kemanfaatannya memang dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Perubahan ini mulai ditegaskan dalam Kepmendagri No 29/2002, serta diperkuat lagi melalui UU No 17/2003 tentang Keuangan Daerah. Ketentuan itu mengamanatkan bahwa penyusunan APBD harus berdasarkan pada kinerja. Oleh sebab itu, sistem anggaran lama -anggaran rutin dan anggaran pembangunan- dinyatakan tidak berlaku lagi. Setiap mata anggaran harus Begitu pula anggaran tidak harus didesain berimbang, karena boleh surplus dan boleh pula defisit. Belanja aparatur meliputi belanja administrasi umum, operasional dan pemeliharaan, belanja pegawai atau personalia, pengadaan rumah dinas, pengadaan mobil dinas, dan biaya perjalanan dinas. Sedang belanja publik, misalnya, meliputi belanja untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Tetapi baik belanja aparatur maupun belanja publik masih dibagi lagi menjadi tiga kategori: administrasi umum dan pelayanan; operasional dan pemeliharaan; serta belanja modal.